Moeldoko menyatakan, langkahnya mengajukan PK semestinya tidak perlu dipersoalkan karena merupakan hak setiap warga negara.
Jakarta – Fusilatnews – Menanggapi “serangan” dan opini miring terhaadap Moeldoko dengan sebutan begal partai Moeldoko menyatakan, tidak ada yang salah dari upayanya mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dalam sengketa kepengurusan Partai Demokrat.
Moeldoko mempertanyakan sikap banyak pihak yang mempersoalkan upaya PK yang ia ajukan. “Pertanyaan saya, apa salah? Masalahnya di mana? Ya sudah, kenapa ribut?” kata Moeldoko sebagaimana dilansir dalam program Gaspol! Kompas.com, Jumat (23/6/2023).
Moeldoko menyatakan, langkahnya mengajukan PK semestinya tidak perlu dipersoalkan karena merupakan hak setiap warga negara.
“Kecuali kalau salah, melanggar konstitusi, ya tidak boleh. Pertanyaan saya, apa salahnya?” ujar Moeldoko.
Mantan Panglima TNI ini juga menegaskan bahwa PK yang ia ajukan bukan kepentingan pribadinya, melainkan kemauan kader-kader Demokrat kubu kongres luar biasa (KLB) 2021.
“Jangan salah, itu bukan urusan saya Meoldoko lho, itu urusan teman-teman semuanya yang berada di belakang KLB itu yang menjalankan itu, bukan saja Moeldoko. Hak konstitusi mereka semua harus dihormati,” kata dia
Moeldoko tidak mau berkomentar ketika ditanya soal optimismenya bahwa PK kali ini bakal diterima oleh MA setelah sebelumnya berkali-kali kandas.
Moeldoko menyerahkan keputusan mengenai sengketa kepengurusan Partai Demokrat kepada para hakim agung.
“Bukan optimisme bukan pesimisme, karena sebagai warga negara yang memahami atas hak dan kewajiban di depan hukum, serahkan saja sepenuhnya kepada MA. Kenapa harus ribut?” ujar Moeldoko.
Pada 3 Maret 2023, kubu Moeldoko mengajukan PK ke MA atas putusan sengketa kepengurusan itu.
Dilansir dari dokumen PK yang sudah dikonfirmasi pihak Moeldoko pada Sabtu (8/4/2023), novum pertama yang diajukan yakni dokumen-dokumen berupa berita acara massa terkait pemberitaan,
bahwa AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 merupakan AD/ART abal-abal karena dilahirkan dan dikarang di luar Kongres V, tanpa persetujuan anggota partai dan tidak disahkan dalam kongres, bertentangan dengan Undang-undang (UU) Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat.
Novum kedua yaitu surat berupa Keputusan Sidang Kongres Luar Biasa Partai Demokrat 2021 Nomor 06/KLB-PD/III/2021 tentang Penjelasan tentang Perubahan dan Perbaikan AD/ART Partai Demokrat, tertanggal 5 Maret 2021, yang pada pokoknya memutuskan antara lain: Pertama, membatalkan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020.
Kedua, AD/ART Partai Demokrat Kembali pada AD/ART hasil Kongres Bali 2005 dengan penyesuaian terhadap UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Novum ketiga adalah surat berupa keputusan sidang Kongres Luar Biasa Partai Demokrat 2021 Nomor 08/KLB-PD/III/2021 tentang Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat periode 2020-2021 yang pada pokoknya menetapkan DPP Partai Demokrat periode 2020-2021 dinyatakan demisioner.
Novum keempat, yaitu dokumen-dokumen berupa berita media massa terkait pertemuan Dirjen Administrasi Hukum Kemenhumham Cahyo R Muzhar dengan AHY yang merupakan bukti nyata keberpihakan termohon PK I (Menkumham) kepada termohon PK II intervensi (AHY) sebagai bentuk pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan asas asas umum pemerintahan yang baik.
Merespons ini, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut novum yang diajukan kubu Moeldoko bukanlah bukti baru. “Kenyataannya, bukti yang dikirim KSP Moeldoko itu bukanlah bukti baru.
Keempat novum itu telah menjadi bukti persidangan di PTUN Jakarta,” ucap AHY, 3 April 2023. Adapun upaya merebut kepemimpinan AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat berlangsung sejak awal 2021. Sejumlah mantan politisi senior Demokrat pun terlibat atas gerakan tersebut, seperti Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Upaya Moeldoko juga telah berulang kali mengalami kekalahan, mulai dari tak diakui oleh Kemenkumham, hingga gugatan ditolak oleh PTUN dan MA.