OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Keluhan para petani yang menuntut Negara/Pemerintah hadir dalam kesulitan petani, sebetulnya telah mengumandang sejak lama. Sebut saja, ketika musim tanam tiba, para petani sering teriak tentang kelangkaan pupuk. Atau ketika musim panen datang, petani mengeluh soal anjloknya harga gabah. Anehnya, kejadian seperti ini terus berulang, seolah Pemerintah cukup kesusahan mencarikan solusinya.
Namun begitu, jujur kita akui, Pemerintah sendiri tampak berupaya mencarikan jalan keluarnya. Soal pupuk langka, sejak tahun ini Pemerinah menambah dua kali lipat jumlah alokasi pupuk bersubsidi. Semula Pemerintah hanya menyiapkan 4,7 juta ton, kini ditambah jadi 9,55 juta ton. Dengan tambahan jumlah alokasi pupuk, diharapkan tidak terdengar lagi keluhan langkanya pupuk bersubsidi.
Begitu pun dengan kejadian anjloknya harga gabah di saat musim panen tiba. Pemerintah berkeinginan agar masalah ini tidak terus berlangsung. Pemerintah tahu persis, jika hal ini tanpa solusi, bisa jadi petani akan kecewa berat atas jerih psyah ysng mereka tempuh selama ini. Petani ingin agar kerja kerasnya sekitar 3 bulan lebih ini, dinilai dengan harga yang wajar.
Adanya kemauan politik Kabinet Merah Putih untuk memposisikan Perum Bulog sebagai off taker untuk membeli gabah/beras petani saat panen berlangsung, tentu hal ini merupakan angin segar dalam upaya Pemerintah melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani. Dengan harga wajar dan tidak ditekan untuk anjlok, maka hasrat petani untuk berubah nasib, peluangnya jadi terbuka.
Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana kesiapan Perum Bulog untuk tampil sebagai off taker ? Hal ini, jelas bukan kondisi yang mudah diwujudkan. Masalahnya, tentu tidak segampang Menteri BUMN bicara tentang penugasan bagi Perum Bulog untuk jadi off taker dihadapan Menteri Pertanian, tapi yang lebih serius untuk dipikirkan, bagaimana dalam pelaksanaannya di lapangan.
Secara teknis, mestinya penugasan sebagai off taker, bukan masalah serius bagi Perum Bulog. Bukankah selama ini pun Perum Bulog sudah terbiasa membeli gabah atau beras dari petani ? Justru yang butuh penelaahan lebih dalam lagi adalah apakah petani berkenan untuk menjual hasil panennya kepada Perum Bulog, mengingat petani telah memiliki kaitan emosi dengan bandar dan tengkulak ?
“Suasana kebatinan” antara petani dengan bandar dan tengkulak sepertinya lebih lengket ketimbang petani dengan Perum Bulog. Terlebih jika hasil panen petani sudah diijonkan lebih dahulu, karena berbagai kebutuhan mendesak para petani. Jika ini yang terjadi, biasanya para petani hanya akan memperoleh jerami saat panen berlangsung.
Dihadapkan pada hal demikian, sedini mungkin Perum Bulog perlu membangun suasana kebatinan yang lebih inten dengan petani. Perum Bulog tidak seharusnya tampil hanya sebagai perusahaan plat merah, tapi bagaimana caranya agar Perum Bulog pun mampu tampil sebagai bagian integral dari kehidupan petani. Slogan Perum Bulog “sahabat” petani, perlu dibuktikan lebih nyata lagi.
Bila di tingkat Pusat ada komitmen bersama antara Menteri Pertanian dengan Menteri BUMN dalam menjadikan Perum Bulog sebagai off taker membeli gabah/beras petani saat panen raya berlangsung, mestinya di tingkat “grass root” dilakukan pula sinergi dan kolaborasi antara para Penyuluh Pertanian dengan Perum Bulog.
Kebersamaan Penyuluh Pertanian dengan petugas Perum Bulog di lapangan merupakan kebutuhan yang harus dirancang sedini mungkin, sehingga kehadiran Perum Bulog sebagai off taker, akan betul-betul memberi berkah bagi perbaikan nasib dan kehidupan para petani. Perum Bulog, jelas harus tampil beda dibanding bandar dan tengkulak. Buktikan Perum Bulog adalah sahabat sejati para petani.
Hadirnya Perum Bulog sebagai off taker yang membeli gabah/beras petani saat panen berlangsung, sebetulnya sudah lama ditunggu para petani. Perum Bulog sebagai BUMN, yang memiliki fungsi “social responsibility”, tentu tidak akan merugikan petani. Justru kehadirannya diharapkan mampu jadi penyelamat terhadap perilaku oknum yang doyan memainkan harga di tingkat petani.
Langkah seperti ini, tentu perlu diberi acungan jempol. Kalau dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang direncanakan, hadirnya Perum Bulog sebagai off taker, setidaknya dapat mengobati kerinduan petani atas hadirnya Negara/Pemerintah dalam kesulitan petani. Perum Bulog adalah simbol Pemerintah yang peduli atas perbaikan nasib petani.
Tidak lama lagi, para petani padi akan melaksanakan panen musim tanam April-September 2024 yang waktunya mundur beberapa bulan. Perum Bulog dengan segala kekurangannya, tentu telah menyiapkan berbagai langkah pelaksanaannya di lapangan. Sebagai off taker, Perum Bulog pasti tidak akan menekan harga yang merugikan petani.
Terciptanya harga gabah dan beras yang wajar adalah dambaan petani selaku produsen, yang selama ini kecewa berat karena adanya permainan oknum tertentu yang gandrung menekan harga jual petani, hanya sekedar ingin mengeruk keuntungan setinggi-tingginya. Hal ini, tentu menjadi “pe-er” Perum Bulog untuk mencarikan jalan keluarnya.
Sebagai terobosan cerdas, Perum Bulog dijadikan off taker, tentu penting dikawal dan didampingi pelaksanaannya di lapangan. Kelembagaan petani seperti KTNA dan HKTI serta lainnya, perlu hadir di tengah-tengah kesulitan petani untuk memperoleh harga gabah yang wajar. Kita optimis, Perum Bulog akan memberi kinerja terbaiknya dalam membela dan melindungi petani. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).