Tidak perlu meneguk mare infinitum (lautan tanpa batas) untuk tahu rasanya asin. Begitu pula dalam hidup, kita tidak selalu harus menunggu waktu panjang untuk memahami hakikat seseorang. Kadang, satu kata, satu keputusan, atau satu tindakan kecil sudah cukup menjadi speculum animae (cermin jiwa) yang mengungkapkan siapa dia sebenarnya.
Lima tahun adalah tempus longum (waktu yang panjang), tapi bagi yang peka membaca tanda, cukup satu isyarat untuk memahami ke mana ventus mutat (angin bertiup). Seperti halnya lautan yang meski tenang di permukaan, bisa menyimpan abyssus tacitus (pusaran diam) di dasarnya. Seperti janji yang terdengar manis, namun waktu yang akan menguji apakah ia akan mekar seperti bunga atau luruh seperti debu di jalan.
Prabowo bukanlah teka-teki yang baru dituliskan hari ini. Ia adalah historia scripta (sejarah yang telah tertulis). Ia adalah lembaran-lembaran yang bisa dibaca ulang, pernyataan yang bisa ditelaah, jejak yang bisa diikuti. Non necesse est quinque annos exspectare (Tak perlu menunggu lima tahun) untuk mengenalinya—karena waktu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan siapa dirinya.
Seperti air laut yang membawa salis profundum (garam dari kedalaman), manusia pun membawa kenangan dari masa lalu. Dan dari masa lalu itulah, kita bisa memahami masa depan. Karena meski undae mutantur (gelombang bisa berubah), lautan tetaplah lautan. Meski kata-kata bisa disusun ulang, historia manet (sejarah tetaplah sejarah).
Maka, janganlah menunggu waktu terlalu lama untuk memahami seseorang. Cukup lihat jejak yang ditinggalkannya (vestigia sequere), cukup dengarkan bagaimana ia berbicara, cukup perhatikan bagaimana ia bertindak. Karena kebenaran seringkali tersembunyi di balik hal-hal kecil yang luput dari perhatian mereka yang menutup mata.
Seperti rasa asin dalam setetes air laut—veritas ibi est (kebenaran ada di sana), bagi siapa pun yang berani mencicipinya.