Purwakarta mungkin memulai sebuah eksperimen sosial yang besar, namun harapan kita semua: jangan sampai ia berakhir dengan luka sunyi di hati anak-anak yang seharusnya sedang belajar mencintai hidup.
Tangis haru para orang tua mengiringi keberangkatan anak-anak mereka menuju barak militer di Batalyon Armed 9, Purwakarta. Pada Kamis (1/5/2025), 39 pelajar tingkat SMP memasuki dunia baru yang bukan mereka pilih sendiri: dunia kedisiplinan ala militer, keras namun diklaim penuh harapan. Program pembinaan karakter berbasis militer ini digagas oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta sebagai solusi untuk siswa-siswa yang dianggap “sulit dikendalikan”. Tetapi benarkah langkah ini menjadi jawaban atas tantangan dunia pendidikan dan pengasuhan anak hari ini?
Esensi dari program ini tampaknya sederhana: menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan akhlak mulia melalui rutinitas ketat di bawah pengawasan militer. Dalam narasi pemerintah, pendekatan militer dianggap ampuh untuk “menempa” anak-anak yang bermasalah agar menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, dibalik narasi ideal itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah benar pendekatan militer adalah jalan terbaik untuk membentuk karakter anak-anak kita?
Dalam dunia psikologi perkembangan anak, pendekatan keras sering kali justru menimbulkan efek sebaliknya. Anak-anak yang ditempatkan dalam lingkungan otoriter cenderung membentuk kepatuhan semu — mereka tunduk karena takut, bukan karena memahami nilai yang diajarkan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghasilkan pribadi yang tertekan, kehilangan kreativitas, bahkan trauma. Terlebih lagi, pelabelan “anak bermasalah” atau “sulit dikendalikan” cenderung bersifat stigmatis dan menyederhanakan kompleksitas persoalan yang mungkin bersumber dari rumah, sekolah, atau bahkan sistem sosial yang lebih luas.
Apakah pendidikan harus menyerahkan tanggung jawab moral dan pembinaan akhlak kepada institusi militer? Bukankah tugas ini seharusnya berada di tangan guru, orang tua, dan komunitas pendidik? Mentransfer peran ini kepada TNI bisa menjadi tanda dari kegagalan sistem pendidikan sipil dalam menyentuh sisi terdalam kemanusiaan anak-anak. Jika sekolah tak lagi mampu menjadi ruang pembelajaran yang penuh empati dan rumah kehilangan sentuhan mendidik, maka barak militer bukan solusi, melainkan alarm bahwa ada yang tak beres dalam fondasi sosial kita.
Kita patut mengapresiasi niat baik dan kolaborasi lintas institusi yang ditunjukkan oleh program ini. Namun, niat baik tak selalu membuahkan hasil baik jika metode yang digunakan justru berpotensi menimbulkan luka psikis. Seharusnya, yang dibutuhkan oleh anak-anak ini bukan sekadar barisan dan komando, melainkan ruang untuk didengar, dipahami, dan dituntun dengan cinta serta keteladanan.
Pendidikan karakter bukanlah sekadar masalah disiplin teknis, tetapi juga pembentukan nilai yang berakar dari dialog, penghargaan terhadap individu, dan keteladanan yang hidup dalam keseharian. Maka, ketimbang menempatkan anak-anak dalam suasana militer, lebih baik kita ciptakan sekolah yang humanis, guru yang inspiratif, dan rumah yang penuh kasih — bukan takut.
Barangkali, di antara tangis para orang tua yang melepas anak-anak mereka di gerbang barak itu, terselip rasa bersalah: apakah kami telah gagal? Tetapi pertanyaan yang lebih besar adalah: apakah negara telah gagal menyediakan ruang tumbuh yang adil, sehat, dan manusiawi bagi semua anak — termasuk mereka yang dianggap “bermasalah”?
Purwakarta mungkin memulai sebuah eksperimen sosial yang besar, namun harapan kita semua: jangan sampai ia berakhir dengan luka sunyi di hati anak-anak yang seharusnya sedang belajar mencintai hidup.