FusilatNews – Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 5 Mei 2025 mengklaim bahwa Indonesia memiliki salah satu rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terendah di dunia. Ia menyebut keberhasilan menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di angka 2,5% dari PDB sebagai bentuk disiplin fiskal, bahkan menyinggung negara-negara Uni Eropa yang kini justru melanggar standar defisit 3% sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Maastricht.
Namun di balik narasi penuh optimisme tersebut, ada sejumlah hal yang layak dikritisi dan dianalisis secara lebih jernih. Rasio utang terhadap PDB memang penting sebagai indikator makroekonomi. Namun, dalam konteks Indonesia, rasio ini tidak dapat dibaca secara tunggal tanpa mempertimbangkan tax ratio yang rendah, struktur penerimaan negara yang rapuh, dan kewajiban pembayaran utang yang semakin besar dari tahun ke tahun.
Rasio Utang dan Kemampuan Bayar
Hingga 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB berada di kisaran 38–40%, memang lebih rendah dari negara maju seperti Jepang atau Amerika Serikat. Namun perlu dicatat bahwa perbandingan ini kurang relevan jika tidak disandingkan dengan rasio penerimaan negara terhadap PDB. Dengan tax ratio Indonesia yang hanya sekitar 10–11%, kemampuan membayar utang dari pendapatan riil negara menjadi sangat terbatas.
Di sinilah letak paradoksnya: beban pembayaran bunga utang dan cicilan pokok terus meningkat, sementara penerimaan negara tidak bertumbuh sebanding. Artinya, meski rasio utang terhadap PDB tampak “sehat”, struktur APBN kita makin sempit untuk menopang belanja produktif. Dalam APBN 2024 misalnya, alokasi untuk pembayaran utang dan bunga saja sudah menggerus lebih dari 20% belanja negara.
APBN yang Tertekan dan Pertumbuhan Ekonomi yang Melemah
Dengan beban fiskal seperti itu, pemerintah menghadapi pilihan sulit: menaikkan utang untuk menutup belanja rutin dan program strategis, atau memangkas belanja yang justru krusial untuk pertumbuhan. Pilihan pertama menaikkan risiko fiskal, sementara pilihan kedua dapat menekan daya dorong ekonomi. Dalam situasi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di bawah 5%, tak pernah lagi menyentuh level sebelum pandemi.
Pertumbuhan ekonomi yang moderat ini memperparah persoalan. Ketika ekonomi tidak tumbuh cukup tinggi, basis pajak ikut mengecil, sementara kebutuhan belanja sosial dan pembangunan infrastruktur tetap besar. Ketidakseimbangan ini menciptakan ketergantungan jangka panjang pada utang baru—semacam lingkaran fiskal yang tak mudah diputus.
Klaim Hemat dan Tantangan Akuntabilitas
Presiden Prabowo menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan penghematan besar-besaran. Namun publik belum mendapatkan penjelasan rinci, di sektor mana penghematan itu dilakukan dan bagaimana dampaknya terhadap pelayanan publik. Dalam banyak kasus, penghematan justru terjadi pada sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, atau subsidi energi, bukan pada pos belanja birokrasi dan proyek mercusuar.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas, klaim “penghematan” rawan menjadi jargon politik semata. Sementara itu, proyek-proyek strategis seperti Ibu Kota Negara (IKN) tetap dilanjutkan dengan alokasi anggaran jumbo, meski efektivitas dan manfaat jangka pendeknya masih dipertanyakan.
Penutup: Mengukur Kesehatan Fiskal dengan Kaca Mata yang Jernih
Menilai kesehatan ekonomi negara tidak cukup hanya dengan mengutip satu indikator seperti rasio utang terhadap PDB. Kita perlu mengaitkannya dengan kemampuan negara dalam mengumpulkan pendapatan, mengelola kewajiban pembayaran, serta menjaga belanja agar tetap produktif dan berpihak pada rakyat.
Presiden Prabowo boleh berbangga dengan angka defisit yang “disiplin”, tapi tantangan sesungguhnya terletak pada struktur ekonomi yang belum mampu menopang diri tanpa utang. Tanpa reformasi pajak, efisiensi belanja, dan keberpihakan pada pembangunan manusia, maka di balik angka-angka indah itu, kita justru sedang menyulam jebakan fiskal masa depan.