Pagi ini saya mendapat laporan yang cukup menggelitik, sekaligus bikin kening berkerut: portal Fusilatnews sering dijadikan rujukan akademis oleh berbagai universitas. Hah? Benarkah? Awalnya saya kira ini hanya bercanda, tapi setelah dicek, ternyata valid! Lalu, dengan penuh rasa bangga (dan sedikit norak), saya segera membagikan kabar ini kepada para kolumnis di portal tersebut. Karena sesungguhnya, yang dijadikan rujukan itu adalah buah karya mereka.
Salah satu yang pertama menanggapi adalah Damai Hari Lubis (DHL), yang langsung mengeluarkan analisis tajamnya: “Memang kita-kita aktivis jurnalis dan politik hukum ini tidak kalah dengan analisis para politikus terkenal, apalagi akademisi! Bedanya? Mereka menang fasilitas dan endorse karena jabatannya, atau lebih simpel: tinggal perintahkan stafnya buat nyari bahan dan ngetik. Kadang-kadang pendapat kita malah lebih duluan muncul, mungkin karena dibaca oleh staf mereka yang tugasnya cari berita? Akhirnya, mereka nulis analisis penuh teori yang kadang bikin kita mau muntah.”
Sebagai seorang jurnalis, saya hanya bisa mengangguk-angguk sambil tersenyum getir. Memang ada benarnya. Kadang kita menyampaikan analisis yang tajam, berbasis realitas, dan tak jarang lebih cepat dari media besar atau akademisi. Tapi, ya itu tadi, mereka punya modal fasilitas yang lebih mentereng. Kita? Hanya modal idealisme, kopi, dan kuota internet.
Lalu muncul perspektif lain dari rekan Karyudi. Dengan enteng dia menanggapi: “Betul, Suhu. Ini semacam orgasme intelektual.” Nah lho! Saya langsung ngakak. Analoginya memang nyeleneh, tapi bisa dipahami. Seorang penulis itu bahagianya ketika karyanya dibaca, dipahami, dan lebih keren lagi: dijadikan referensi! Rasanya? Ya, seperti orgasme intelektual—sebuah kepuasan yang tak kasat mata, tapi mendalam.
Namun, di balik euforia ini, ada realitas yang cukup pahit. Akademisi yang benar-benar berpikir objektif, justru sering ditekan, dipasung, bahkan dipersulit. Contoh saja beberapa profesor dan doktor yang namanya sudah tak asing di dunia intelektual kita. Ada yang dimarginalkan karena terlalu kritis, ada pula yang medianya tiba-tiba dibuat broken, forbidden, atau bahkan banned begitu saja. Ironis, bukan?
Jadi, apakah kita harus tetap bangga ketika karya kita dijadikan referensi akademis? Tentu! Tapi jangan lupa, kita juga harus tetap waspada. Karena di dunia ini, terkadang mereka yang berusaha mengungkap kebenaran malah dianggap sebagai ancaman. Tapi, siapa takut? Selama kita masih bisa menulis, selama masih ada kopi di meja, kita akan terus bersuara!
Mari kita lanjutkan orgasme intelektual kita dengan lebih banyak karya!