OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Pergabahan dan perberasan di Tanah Merdeka, betul-betul sebuah misteri. Gabah dan Beras merupakan dua kata yang memiliki kaitan erat antara satu dengan lainnya. Tidak mungkin akan ada beras, jika tidak ada gabah. Petani di negeri ini, umumnya akan menjadikan gabah sebagai sumber penghidupan kesehariannya. Itu sebabnya ada istilah uang disebut dengan “petani gabah”.
Lalu, bagaimana dengan beras ? Siapa sebetulnya, pemilik beras ? Jawabnya jelas, beras bukannya milik petani, tapi beras adalah milik para pedagang. Dari sini muncul istilah “pedagang beras”. Pedagang inilah yang menguasai perdagangan beras, sekalugus perdagangan gabah di negara kita. Terkadang, pedagang ini pulah penentu hsrga beras di pasar.
Dengan keterbatasan yang dimiliki petani padi, jika panen berlangsung di musim penghujan, omong kosong petani akan menghasilkan gabah kering panen seharga Rl. 6500,- per kg. Tidak adanya sinar matahari, petani sangat kesusahan mendapatkan gabah dengan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %. Itu sebabnya, muncul suara di lapangan, petani tidak bisa menjual gabah sesuai HPP.
Kalau sosialisasi penyesuaian HPP Gabah dilakukan secara berkualitas, mestinya salah tafsir petani terhadap HPP Gabah tidak perlu terjadi. Itu sebabnya, akan tampak keren bila Pemerintah mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat secara utuh tentang penyesuaian HPP Gabah dan Beras. Bukan hanya menjelaskan HPP Gabah sebesar Rp. 6500,- belaka.
Setidaknya, Pemerintah perlu menjelaskan hal-hal berikut ini :
GKP di tingkat petani
1. GKP di luar kualitas 1 di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi (pemotongan/ pengurangan harga) Rp300 sehingga HPP berlaku adalah Rp6.200 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air maksimal 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, dikenakan rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.075 per kg.
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, kena rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku Rp5.750 per kg
GKP di tingkat penggilingan
1. GKP di luar kualitas 1 dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 10-15%, dikenakan rafaksi Rp300, sehingga HPP-nya jadi Rp6.400 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, kena rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.275 per kg
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg.
Penjelasan Pemerintah terkait dengan persyaratan penyerapan/pembelian gabah oleh Perum Bulog, sudah seharusnya disosialisasikan srjak jauh-jauh hari. Pemerintah tidak cukup hanya mengumunkan kenaikan HPP Gabah menjadi Rp. 6500,- dan HPP Beras jadi Rp. 12.000,,- per kg. Para petani perlu paham harga senilai itu, jiks dan hanya jika, petani mampu menghasilkan gabah dengan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %.
Bila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka Perum Bulog akan membelinya sesuai dengan ketentuan yang ada. HPP Gabah nya, pasti akan lebih rendah dari Rp. 6500,- per kg. Hal ini penting dijelaskan kepada para petani, supaya mereka tidak salah persepsi terhadap makna HPP Gabah. Sosialisasi ini, sebaiknya dirumuskan dalam desain perencanaan yang terukur, lengkap dengan “roadmap” pencapaisnnya.
Masalahnya tentu akan semakin menyusahkan petani, sekiranya panen berbarengan dengan tibanya musim penghujan. Dapat dipastikan, petani akan semakin susah menghasilkan gabah berkadar air kering dan kadar hampa rendah. Lebih gawat lagi. Perum Bulog harus menyerap gabah berkualitas rendah. Hal ini jelas akan berkaitan erat dengan penyimpanan gabah.
Untuk mengatasi masalah panen di musim hujan, sepertinya ada langkah jangka pendek yang dapat ditempuh. Petani perlu difasilitasi alat pengering padi dengan teknologi sederhana untuk menggantikan peran sinar matahari yang jarang terbit, karena berlangsungnya musim penghujan. Pertanyaannya apakah Pemerintah siap untuk menyediakannya ?
Dalam teknis pelaksanaannya, alat pengering gabah tersebut diberikan kepada Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk dimanfaatkan bersama oleh para petani. Dengan pembinaan yang dilakukan para Penyuluh Pertanian dengan Perum Bulog, mestinya hasil panen petani akan memiliki kualitas gabah yang berkadar air dan kadar hampa rendah.
Pertanyaan lanjutannya adalah apakah Pemerintah telah siap untuk menggelindingkan fasilitasi alat pengering gabah berteknologi sederhana bagi petani melalui Program Bansos Alsintan, sebagaimana Bansos-Bansos Alsintan lainnya ? Kalau Pemerintah berhasrat untuk mendapatkan gabah berkualitas baik, sekaligus terjadi peningkatan pendapatan petani, mestinya kebijakan ini penting untuk segera digarap.
Di sisi lain, target Pemerintah mencapai swasembada pangan, utamanya beras, diharapkan dapat didukung oleh dihasilkannya kualitas gabah yang baik. Selain itu, para petani akan senang, karena penghasilannya menjadi semakin meningkat. Dengan suasana ini, dapat dipastikan petani akan semakin bergairah dalam melaksanakan usahatani padinya.
Jujur kita akui, tidak ada seorang pun petani di negeri ini yang berharap agar panen padi berlangsung di saat musim penghujan. Terlebih jika dalam waktu yang bersamaan terjadi sergapan La Nina sebagai akibat dari anomali iklim. Petani inginnya, baik musim tanam atau musim panen, iklim dan cuaca benar-benar berpihak ke pertanian. Petani tidak meminta hal yang ekstrim-ekstrim.
Harapan petani sebetulnya tidak muluk-muluk. Petani ingin hasil jerih payahnya selama kurang lebih 100 hari bercocok-tanan padi, saat panen tiba dinilai dengan harga yang wajar dan pantas. Pemerintah sebagai birokrasi yang dipercaya oleh rakyat untuk mengelola bangsa dan negara, mestinya mampu memberi kinerja terbaiknya bagi petani. Terlebih saat panen di musim hujan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).