Oleh Sadarudin el Bakrie*
Para pimpinan dan kader partai politik di Republik ini mengklaim partai politik sebagai pilar demokrasi. Benar jika itu ditinjau dari pendekatan teori ilmu politik. Dalam teori ilmu politik ditegaskan bahwa partai politik sebagai pilar demokrasi mempunyai empat fungsi; fungsi Pendidikan politik, fungsi menejemen konflik, fungsi Pengkaderan dan fungsi rekruitmen kepemimpinan Nasional. Pertanyaannya, benarkah partai politik di republik ini menjadi pilar demokrasi ataukah menjadi parasit yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Fungsi Pendidikan Politik
Fungsi pendidikan politik, seharusnya partai politik berfungsi memberikan pendidikan politik kepada rakyat Indonesia pemegang hak pilih dan dipilih dalam pemilihan umum agar memahami tentang politik beserta aktifitss politik yang baik yang sesuai dengan nilai – nilai moral, akhlak yang baik dan norma berpolitik yang diterima secara moral berakhlak dalam negara Demokrasi.
Sedihnya partai politik di Indonesia justru memberikan pendidikan politik yang sangat buruk bagi rakyat Indonesia dengan menebar dan menyuburkan money politik, mengembangkan mental kleptokrat kepada rakyat Indonesia dan pola perilaku buruk lainnya.
Fungsi Menejemen Konflik
Fungsi menejemen konflik dalam partai politik haruslah dimulai dari bagaimana memenej konflik dii internal partai politik itu sendiri, dimana tarik menarik kepentingan baik individual dan kelompok dalam internal partai politik itu sendiri haruslah diselesaikan sesuai dengan aturan main yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai sebagai konstitusi tertinggi partai. Tapi fakta konflik dalam partai itu seringkali bermuara pada pembentukan partai politik baru sebagai akibat kegagalan partai dalam menangani tarik menarik kepentingan diantara kader partai itu sendiri.
Kegagalan dalam intetnal partai politik dalam memenej konflik sendiri sebenarnya membuat partai politik itu tidak siap mejadi partaibberkuasa dan tidak kompeten dalam memenej konflik pada tingkat nasional yang lebih luas dan lebih rumit. Dimana tarik menarik kepentingan diantara Suku Ras Agama dan Antar golongan yang dikenal dengan SARA mendominasi konflik secara nasional.
Dalam regime Orde Baru pemerintah selalu menangani konflik SARA dengan tegas sesuai dengan nilai – nilai Pancasila, UUD 1945 dan aturan perundangan lainnya secara relatif adil dan berkeadilan. Sehingga eskalasi konflik terkendali. Dan masyarakat bersama pemerintah Indonesia saat itu tetap bersatu fokus pada pembangunan nasional. Meski diwarnai oleh korupsi dan kolusi dan nepotisme, hasilnya dalam meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat sangat nampak dibandingkan saat regime orde baru berkuasa pada tahun 1967. Dimana saat itu rakyat didera oleh kemiskinan absolut yang mengerihkan.
Regime saat ini sedang tidak memenej konflik justru memelihara konflik dan menciptakan konflik yang tidak perlu yang sangat membahayakan keamanan nasional integritas dan kesatuan bangsa Indonesia. Cara – cara regime ini untuk mempertahankan legitimasi dan melanggengkan kekuasaan dengan cara -cara absurd dan bodoh, yaitu dengan munculnya buzzer yang bermuara pada tumbuhnya eskalasi konflik yang tak terkendali dan mengarah pada pembusukan bangsa dan negara akibat dilecehkannya nilai -nilai keadilan secara keseluruhan. Menciptakan perpecahan dan nengancam integritas dan keamanan nasiona menumbuh suburkan Islamophobia menciptakan ketidakadilan, mengkooptasi TNI AD dan Polri untuk kepentingan penguasa dengan berlindung dibalik program pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan polisi menganggap kalimat dzikir “hasbunallahu wa nikmal wakil nikmal maulah wa nikmannasir” dianggap sebagai ajakan perang melawan negara. Ini kan islamophobia absurd yang bermuara pada eskalasi konflik yang sebenarnya tidak perlu.
Fungsi Pengkaderan
Partai politik seharusnya berfungsi sebagai organisasi kader yang mempersiapksn kader – kader partai jujur, kompeten dan profesional untuk dipersiapkan sebagai kader kepemimpinan nasional. Faktanya partai politik di Indonesia tidak pernah melaksanakan proses pengkaderan yang baik dan benar. Ini dibuktikan cara partai politik merekrut legislator, gubernur dan bupati walikota yang mengabaikan merit system, mengedepankan nilai nilai plutokratisme, mengutamakan perkoncoan dan nepotisme.
Fungsi Rekruitmen dalam Kepemimpinan Nasional.
Akibat kegagalan fungsi pengkaderan dalam partai politik. Negara mendapatkan kader – kader busuk kleptokrat bermental garong yang bekerja untuk kepentingan perutnya sendiri dan kelompoknya bersama kekuatan arogansi oligarki nasional. Negara dipaksa merekrut pimpinan nasional atas dasar siapa yang punya uang untuk disetor pada partai politik yang mencalonkanya sebagai menteri, gubernur, bupati dan walikota, bahkan Presiden, meski otaknya didengkul.
Akibatnya kita mendapatkan pemimpin nasional bermental kleptokrat proxy/ kurcaci kekuatan arogansi oligarki dan ini dibuktikan dengan disahkannya RUU omnibus law menjadi UU dan ditangkapnya ratusan legislator pada segala tingkatan, puluhan menteri ratusan gubernur dan bupati dan walikota sejak KPK didirikan 2003 lalu. Karena KPK dianggap terlalu agresif menangkapi ribuan garong APBN kini KPK dibuntungi kewenangannya oleh para legislator bersama eksekutif kleptokrat. Sekarang KPK tak lebih dari macan ompong yang tak lagi punya “gigi” dan “cakr” tak bisa “melukai” apalagi membunuh,hanya bisa membuat para koruptor geli menggelinyang.
*Sadarudin el Bakrie : Pengamat Ekonomi Politik, Alumni Fakultas Ekonomi Univerditas Negeri Jember