OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
CNBC Indonesia merilis, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) menugaskan Perum Bulog untuk menyerap 3 juta ton beras pada periode Januari hingga April 2025. Penugasan ini dilakukan untuk menguatkan ketersediaan beras nasional dengan mengisi stok cadangan beras pemerintah (CBP), sekaligus juga untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog, sebetulnya merupakan pekerjaan yang sangat mulia, walaupum untuk menyerap gabah petani sebesar 3 juta ton, tidak segampang anak-anak kecil bermain ‘hom pim pah alaihim gambreng’. Dalam kondisi produksi beras yang menurun, sehingga banyak pihak menyebut Indonesia tengah menghadapi “darurat beras”, menyerap gabah petani 3 juta ton butuh perjuangan yang cukup serius.
Jujur kita akui, dalam beberapa tahun terakhir, produksi beras secara nasional mengalami penurunan angka cukup signifikan. Ini terjadi, karena ada berbagai persoalan memalukan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kejahatan kerah putih yang melibatkan secara langsung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, benar-benar sangat menyinggung pejuang pertanian, yang saat itu sedang semangat-semangatnya menggenjot produksi.
Jadi, mana mungkin produksi beras akan meningkat setinggi-tingginya menuju swasembada, kalau Menteri yang bertanggungjawab untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertaniannya tersangkut praktek korupsi dan gratifikasi. Faktanya, betul sekali produksi beras nasional tahun 2024 ternyata lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun 2023.
Pemerintah sendiri terlihat masih sopan. Pemerintah tidak pernah menjadikan praktek kejahatan kerah putih sebagai biang kerok anjloknya produksi beras. Pemerintah malah menuding biang keladi turunnya produksi beras lebih disebabkan oleh adanya sergapan El Nino, yang membuat petani mengalami gagal panen. Pemerintah sendiri meramalkan gagal panen padi ini, membuat kehilangan beras sebesar 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton.
Menjawab hal demikian, senetulnya Pemerintah cukup jujur untuk mengakui afanya berbagai faktor penyebab utama anjloknya produksi beras. Diawali oleh belum tersedianya benih padi yang unggul dan lemahnya tata kelola perbenihan nasional. Lalu, kurangnya jumlah pupuk bersubsidi yang dibutuhlan para petani, sehingga setiap musim tanam tiba, petani selalu mengeluhkan kelangkaan pupuk.
Sejanjutnya problem infrastruktur pertanian, khususnya irigasi yang tidak optimal. Di banyak daerah irigasi pada rusak dan kurang mendapat pemeliharaan yang layak dan memadai. Jumlah petugas Penyuluh Pertanian yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Antara jumlah Penyuluh Pertanian dengan jumlah desa yang ada, masih menunjukkan ketimpangan cukup tinggi.
Tak kalah penting untuk disampaikan, berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian pangan produktif menjafi non pertanian, terutama untuk kebutuhan infrastruktur dasar pembangunan dan kebutuhan pemukiman/perumahan rakyat, secara membabi-buta, tentu saja muncul menjadi dilema pembangunan pertanian yang mesti dijawab dengan cerdas.
Masalahnya lebih rumit lagi, setelah alih kepemilikan lahan petani menjadi milik orang-orang yang profesi kesehariannya bukan petani, kini mulai marak terjadi di banyak daerah sentra produksi padi. Padahal, untuk menjaga dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, Pemerintah telah melahirkan regulasi setingkat Undang Undang yang berusaha melakukan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (UU No. 41/2009).
Ya inilah Indonesia. Banyak hal yang butuh penataan lebih lanjut. Terlalu banyak petinggi negeri yang sulit membuat satu antara tutur kata dan perbuatan. Bahkan beberapa keb8jakan yang dilahirkan sering bersifat ‘tojai’ah’. Coba tengok Program Bantuan Langsung Beras bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat dengan program diversifikasi pangan. Betul-betul terekam sangat tojai’ah.
Catatan kritisnya, mengapa harus beras yang diberikan ? Mengapa bukan pangan ? Bukankah akan lebih keren bila bantuan langsung yang diberikan itu, sesuai dengan kebiasaan masyarakat kesehariannya ? Yang budaya pangannya mengkonsumsi sagu atau umbi-umbian, yang jangan diberi beras. Begitu pun yang biasa mengkonsumsi jagung, ya berikan jagung.
Gambaran semacam ini memperlihatkan kepada kita, jika kebijakan seperti ini terus dilakukan, dijamin 100 %, program diversifikasi pangan hanya akan tampil sebagai pelipur lara bagi mereka yang telah berjuang untuk meragamkan pola makan masyarakat. Kecanduan rakyat terhadap beras akan terus berlangsung terus menerus.
Akibatnya wajar, jika setiap Pemerintahan yang tengah manggung dan diberi ananah rakyat untuk membangun bangsa dan negara, selalu “ketakutan” kekurangan beras. Hal ini lumrah terjadi, karena sebagai komoditas politis dan strategis, beras harus tersedia sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau masyarakat. Urusan beras terkait dengan nyawa dan kehidupan anak bangsa.
Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyerap 3 juta ton beras dalam musim panen kali ini, betul-betul cukup menantang. Bukan saja, kini produksi beras secara nasional sedang anjlok, namun kemampuan untuk menghasilkan gabah berkualitas baik pun terganggu oleh iklim dan cuaca yang kurang bersahabat dengan dunia pertanian.
Panen raya ditengah iklim ekstrim, merupakan kendala serius, yang tidak mudah dicarikan jalan keluarnya. Pengalaman disergap El Nino misalnya, membuat Pemerintah seperti yang kebakaran jenggot dan tak berkutik menghadapinya. Lebih-lebih sergapan ini berbarengan dengan terjadinya kemarau panjang. Solusinya, lagi-lagi kita harus impor. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).