Jakarta-Fusilatnews – Sebuah petisi yang menyoroti dugaan komersialisasi akademis tengah viral di group whats’up dan media sosial, menyusul kelulusan Bahlil Lahadalia dari program Doktoral (S3) Universitas Indonesia (UI) dengan predikat cum laude hanya dalam waktu tiga semester. Publik mempertanyakan keistimewaan yang diterima oleh Bahlil, mengingat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa program S3 idealnya ditempuh selama minimal enam semester.
Banyak pihak, termasuk akademisi dan mahasiswa, menyatakan ketidakpuasan mereka melalui petisi tersebut, menekankan bahwa sangat jarang seseorang dapat menyelesaikan studi doktoral dalam waktu tiga semester, bahkan bagi mereka yang mendapatkan tugas belajar penuh. Terlebih lagi, banyak yang menilai mustahil bagi seseorang yang aktif bekerja, seperti Bahlil yang menjabat sebagai Menteri Investasi, untuk menyeimbangkan pekerjaan dan studi S3 dengan pencapaian akademis sebaik itu dalam waktu singkat.
Salah satu penggagas petisi menuliskan, “Bagaimana bisa seorang pejabat publik yang sibuk dengan tanggung jawab besar dapat lulus lebih cepat dari mayoritas mahasiswa S3 yang fokus sepenuhnya pada studi? Ini jelas mencerminkan ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan kita.”
Yang ingin turut berpartisipasi menanda-tangani petisi, silahkan ke link ini : https://chng.it/j825ZS4ttZ
Petisi ini juga menyoroti adanya potensi komersialisasi akademis, di mana gelar dan prestasi akademik dapat diperoleh dengan lebih mudah bagi individu yang memiliki kekuasaan atau akses khusus. Para pengkritik menduga bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia, yang seharusnya menjaga integritas dan standar akademis.
Universitas Indonesia sendiri belum memberikan klarifikasi resmi terkait proses kelulusan Bahlil Lahadalia. Namun, spekulasi terus berkembang di masyarakat bahwa adanya campur tangan kekuasaan dalam proses akademis ini merupakan bukti nyata komersialisasi pendidikan di tingkat tertinggi.
“Kasus ini bukan hanya soal Bahlil. Ini tentang kredibilitas dan kualitas pendidikan tinggi kita yang semakin dipertanyakan. Apa artinya nilai cum laude jika standar akademis bisa dilonggarkan?” ujar salah satu akademisi yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Sejumlah mahasiswa dan alumni UI juga menyuarakan protes mereka, menuntut transparansi dari pihak kampus terkait proses penilaian dan kelulusan Bahlil. Mereka berharap, kejadian ini dapat menjadi momentum untuk mereformasi sistem pendidikan tinggi yang dinilai semakin condong ke arah komersialisasi.
Sementara itu, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih belum memberikan tanggapan resmi terkait kontroversi ini. Namun, desakan agar dilakukan audit dan investigasi terhadap proses kelulusan Bahlil semakin menguat.