“Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp 10-15 miliar dan Kepala Daerah Rp 100 miliar,” kata Jaleswari.
Jakarta – Fusilatnews – Stagnasi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan turunnya peringkat dari 110 menjadi 115 dari 180 negara, penyebabnya dari sisi hulu. Antara lain karena terjadinya politik biaya tinggi dan juga faktor integritas aparat penegak hukum.
“Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf,” kata Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, dikutip dari siaran pers KSP pada Kamis (1/2/2024).
Tranparency International (TI) melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 dengan skor 34. angka indeks Indeks Persepsi Korupsi tahun 2023 masih tetap dan tak beranjak di angka skor 34 atau stagnan dengan raihan tahun lalu
Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 sama dengan 2022 yaitu 34/100 menempatkan Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei.
Stagnasi skor CPI 2023 memperlihatkan penegakkan hukum yang diharapkan tajam terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat, bahkan memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan..
Pengarah Tim Nasional Stranas Pencegahan Korupsi ini menjelaskan, rilis Indeks Persepsi Korupsi ini penting bagi pemerintah sebagai evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi dari hulu.
Masih terjadinya suap dalam layanan publik dan perizinan, integritas aparat birokrasi dan penegak hukum yang belum cukup baik, serta money politics yang berakibat pada politik biaya tinggi dan kualitas demokrasi menyebabkan CPI kita tak beranjak lebih baik ketimbang tahun lalu .
Terkait terjadinya politik biaya tinggi, data KPK menunjukkan bahwa lebih dari 186 kepala daerah dan 35 menteri atau kepala lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir (KPK, 2023). Terjadinya politik uang dalam pemilu adalah salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi.
“Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp 10-15 miliar dan Kepala Daerah Rp 100 miliar,” kata Jaleswari.
Biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26 persen pemilih di dalam Pemilu Indonesia (TI, 2020). Tingginya biaya politik ini diperkuat dengan hasil kajian KPK, bahwa 82,3 persen calon Kepala Daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik (KPK, 2020).
Beragamnya modus politik uang dalam pemilu, seperti pemberian sembako, pemberian kupon belanja, token listrik, dan budaya permisif masyarakat terhadap politik uang, memerlukan adanya dua pendekatan. Yaitu, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi hukum kepada pelaku politik uang dan edukasi yang intensif tentang pencegahan politik uang di level akar rumput. Antara lain lewat kampanye Hajar Serangan Fajar yang dilakukan KPK serta kanal untuk melihat rekam jejak calon politisi seperti yang dilakukan oleh ICW.
Selain itu, perubahan regulasi untuk peningkatan pendanaan dan akuntabilitas partai politik serta penguatan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang masih terkendala, adalah kebijakan yang akan terus didorong pemerintah melalui Stranas Pencegahan Korupsi. Ia mengatakan, pemerintah bersama KPK sebagai ujung tombak upaya pemberantasan korupsi, akan terus meningkatkan upaya pembenahan sistem pencegahan korupsi di antaranya dengan Stranas Pencegahan Korupsi dan berbagai inisiatif kebijakan pemberantasan korupsi.
Transparansi Internasional adalah gerakan global yang bekerja di lebih dari 100 negara untuk mengakhiri ketidakadilan korupsi.
Transparansi Internasional fokus pada isu-isu yang memiliki dampak terbesar terhadap kehidupan masyarakat dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang berwenang demi kebaikan bersama.
Melalui advokasi, kampanye, dan penelitian TI berupaya mengungkap sistem dan jaringan yang memungkinkan korupsi berkembang, menuntut transparansi dan integritas yang lebih besar di semua bidang kehidupan masyarakat..