Oleh : Radar Tri Baskoro
Dalam artikel pertama berjudul sama saya mengajukan tesis bahwa konsep presidential threshold adalah pembatasan artifisial, dalam arti tidak meningkatkan kualitas pemilu atau kualitas kandidat. Pembatasan itu justru membentuk situasi monopolistik dalam pilpres, melanggar hak dipilih kandidat berkualitas, dan menciptakan arena yang sempurna bagi persekongkolan para oligarki. Kondisi itu dapat berujung kepada terpilihnya kandidat substandar.
Sejumlah pihak membantah dengan mengatakan bahwa aturan PT20% bermanfaat karena memperkuat sistem presidensialisme dan diharapkan akan mempercepat penyederhanaan partai politik. Dalam sebuah diskusi online Yusril Ihza Mahendra, salah seorang pemohon judicial review atas aturan itu menceritakan bagaimana kedua alasan itu dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonannya.
Melalui artikel ini saya bermaksud membantah argumentasi di atas dengan mengajukan tesis bahwa “Sistem presidensialisme di Indonesia sudah sangat kuat sehingga tidak membutuhkan penguatan lagi. Penguatan lebih lanjut justru membatalkan sistem presidensialisme dan membuka jalan kepada pemerintah otoritarian, sekaligus berarti kejatuhan demokrasi. Presidential threshold adalah faktor objektif yang justru akan meruntuhkan presidensialisme. Sementara ketiadaan komitmen presiden merupakan faktor subjektif yang menjadikan bahaya keruntuhan presidensialisme menjadi nyata.
SISTEM RELASI EKSEKUTIF – LEGISLATIF
Seperti diketahui kelembagaan politik suatu negara demokrasi dibangun menurut prinsip pemisahan kekuasaan Trias Politika Montesquieu. Pemisahan itu tentu tidak bersifat mutlak. Tidak mungkin legislatif dibiarkan membuat undang-undang yang tidak bisa dijalankan eksekutif. Tidak boleh eksekutif dan legislatif bersekongkol membuat undang-undang yang membebaskan mereka dari pelanggaran hukum. Dan tidak mungkin juga membiarkan lembaga judikatif berjalan sendiri, sehingga setidaknya ada pembatasan masa jabatan dan pengangkatan hakim agung yang melibatkan eksekutif dan legislatif.
Jadi pemisahan kekuasaan legislatif-eksekutif-judikatif harus dimaknai sebagai pengaturan relasi diantara ketiga lembaga itu. Pengaturan itu menciptakan mekanisme checks and balances diantara ketiga lembaga. Checks and balances berfungsi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan oleh suatu lembaga.
Pengaturan tersebut belakangan mengerucut ke dalam dua pola utama, yaitu presidensialisme dan parlementarian. Kedua sistem itu berbeda dalam meletakkan titik gravitasi kekuasaan, apakah kepada presiden atau parlemen. Di luar kedua pola tersebut ada pola ketiga yang disebut sistem semi-presidensialisme.
Saya mengutip Cheibub, Elkins dan Ginsburg (2013) pada Tabel 1, untuk menunjukkan perbedaan lebih detil di antara ketiganya. Melalui tabel itu saya memperlihatkan bagaimana sistem presidensialisme yang dianut oleh Indonesia sudah sangat kokoh. Begitu kokoh sehingga pembatasan presidential threshold malah mengikis mekanisme checks and balances dan mengancam terbentuknya pemerintahan otoritarian.
Perbedaan antara sistem presidensialisme dengan parlementarian terletak pada bagaimana kedua lembaga saling menguji dan mengimbangi (checks and balances).
Dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen dan bertanggung-jawab kepada parlemen. Parlemen mendikte program dan menteri-menteri pelaksananya. Namun parlemen tidak diijinkan melakukan pengawasan terhadap kerja kabinet. Parlemen juga tidak boleh mengajukan undang-undang, hak itu berada di tangan Presiden. Tetapi kalau undang-undang sudah disahkan oleh parlemen presiden tidak boleh memvetonya. Parlemen tidak boleh sewenang-wenang karena presiden diberi hak untuk membubarkan parlemen dan melakukan pemilu ulang. Demikian pula presiden tidak bisa sewenang-wenang karena, selain memiliki hak memilih dan menetapkan presiden, parlemen juga punya hak menjatuhkannya.
Sebaliknya pada sistem presidensialisme, kepala negara merangkap kepala pemerintahan dipilih secara langsung dan dapat mengelola pemerintahan tanpa perlu mandat parlemen. Presiden boleh memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya sendiri. Presiden juga tidak tergantung kepada parlemen dalam menyusun strategi pembangunan dan menjalankannya. Presiden memiliki hak veto terhadap undang-undang yang telah disetujui di parlemen. Dalam keadaan darurat presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ringkasnya, kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensialisme sangat besar, parlemen dilarang “mengganggu” presiden menjalankan pemerintahannya.
Walau begitu sistem presidensialisme tidak menjadikan parlemen sebagai mitra pasif “tukang stempel” belaka. Parlemen diberi kekuasaan mempengaruhi jalannya negara dengan memberi kewenangan mengajukan undang-undang (presiden tidak boleh) dan mengawasi jalannya pemerintahan. Walau kekuasaan presiden dalam sistem presidensialisme ini sangat besar, presiden tidak boleh membubarkan parlemen.
PRESIDENSIALISME DI INDONESIA
Adapun sistem presidensialisme di Indonesia sudah sangat kuat. Menurut UUD 1945 dan tidak pernah dikoreksi oleh amandemen-amandemennya kekuasaan presiden di Indonesia telah jauh melampaui atribut-atribut standar sistem presidensialisme yang dikemukakan di atas. Bila pada sistem presidensialisme di negara lain presiden tidak memiliki kekuasaan mengajukan undang-undang, presiden di Indonesia boleh. Presiden boleh mengeluarkan dekrit bahkan membubarkan parlemen. Kekuasaan presiden di Indonesia dapat dikatakan nyaris mutlak! Bagi parlemen hanya tersisa satu peran untuk menyelenggarakan checks and balances, yaitu pengawasan parlemen.
Di masa Orde Baru hak pengawasan parlemen dilumpuhkan melalui pengendalian partai politik dan parlemen. Pemerintah mengintervensi kongres-kongres partai dan hanya mengijinkan orang-orang yang direstui pemerintah tampil menjadi pemimpinnya. Parlemen dikendalikan melalui seleksi ideologis, orang-orang yang diragukan ideologinya atau menjadi oposisi pemerintah dihambat bahkan ditolak menjadi calon legislatif. Lebih dari itu pemerintah Orde Baru mengintervensi penyelenggara pemilu sehingga partai pemerintah (Golkar) selalu menang besar.
Era reformasi membuka satu-satunya saluran checks and balances yang disediakan oleh konstitusi: hak pengawasan parlemen. Hak itu bahkan telah dipergunakan untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid, presiden pertama di era reformasi. Hak itu juga berfungsi dengan baik pada masa administrasi Megawati dan terutama, Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono bahkan terpaksa melepas Sri Mulyani dan melengserkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk menyelamatkan kabinet dan partainya.
Namun sejak pemerintahan Jokowi keadaan berbalik. Peran pengawasan parlemen menjadi sangat merosot. Parlemen dipaksa menjadi tukang stempel kemauan presiden. Tidak ada kritisisme parlemen terhadap sejumlah peristiwa besar, seperti korupsi oleh menteri, kematian mahasiswa dalam demonstrasi anti-korupsi, kematian pada demonstrasi pemilu, pembunuhan 6 anggota FPI, dsb. Bukti paling telak kelumpuhan parlemen adalah pengesahan kilat atas revisi UU KPK, Perpu No.1/2020, UU Cipta Kerja dan terakhir, UU Ibu Kota Negara. Parlemen tidak melakukan elaborasi yang memadai atas isi undang-undang di atas.
Tanpa pengawasan parlemen sistem presidensialisme sesungguhnya telah hancur. Parlemen telah berubah menjadi boneka dan tukang stempel. Dengan runtuhnya sistem presidensialisme maka terancam runtuh pula trias politica, dan dengan sendirinya demokrasi runtuh. Di atas keruntuhan demokrasi berdiri pemerintahan otoritarian, sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Apa sebab-musabab kembalinya otoritarianisme?
Saya tidak ragu mengatakan bahwa keruntuhan sistem presidensialisme disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor objektif dan subjektif. Faktor objektifnya adalah aturan presidential threshold 20%. Sedangkan faktor subjektifnya adalah ketiadaan komitmen kepada demokrasi. Bagaimana presidential threshold dapat menyebabkan fungsi pengawasan parlemen menghilang?
FAKTOR OBJEKTIF PRESIDENTIAL THRESHOLD
Presidential threshold (PT) adalah ambang batas perolehan kursi/suara yang diperlukan untuk mengusung satu pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon). PT ditetapkan sebesar 20%. Ketentuan ini disebut second order qualification atau kualifikasi tingkat kedua, untuk membedakannya dari 1st order qualification yaitu kualifikasi yang berkenaan langsung dengan karakter calon, misal kewarganegaraan, kesehatan, catatan kriminal, pengalaman, pendidikan, dsb. 2nd order qualification berlaku kepada partai politik. Partai yang tidak memiliki kursi/suara 20% dinyatakan tidak berhak mengikuti pilpres.
Ketentuan PT20% menimbulkan dua dampak. Pertama, tercipta pasar (adanya permintaan dan penawaran) untuk koalisi partai pengusung capres. Seperti halnya pasar yang lain, pasar ini memiliki nilai komersil. Kedua, PT20% membuka pintu bagi oligarki pengusaha untuk memasuki arena pilpres. Mereka yang bermaksud mempengaruhi hasil pilpres, dengan ketentuan ini dapat menentukan siapa saja yang bisa menjadi capres.
Oligarki berkepentingan mempertahankan kekayaannya. Mereka menginginkan presiden yang bisa menjadi boneka mereka, atau paking sedikit tidak mengganggu rencana mereka.
Kekuatiran mereka hanya satu, yaitu munculnya tokoh karismatis seperti Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004. Yudhoyono bukan anggota kelompok mainstream politik tetapi kehadirannya telah membuyarkan impian kelompok itu. Ia memenangkan kepresidenan praktis dari nol. Partainya baru mengikuti pileg 2004 dan memperoleh 8% suara dan beberapa bulan kemudian memenangkan pilpres 2004. Pada tahun 2009 Yudhoyono memenangkan pilpres dengan satu putaran. Ia memperoleh 60% suara, jauh melampaui saingannya Megawati-Prabowo (26%) dan Jusuf Kalla-Wiranto (14%).
Tokoh seperti Yudhoyono yang memiliki popularitas, kepemimpinan, kemampuan komunikasi yang menawan dan wawasan yang kuat (sebagaimana seorang tokoh militer), apalagi berhasil memenangkan kursi kepresidenan dengan kekuatan sendiri, sulit dikendalikan oleh oligarki. Tokoh seperti itu tidak boleh menjadi calon presiden.
Oligarki beruntung oleh adanya aturan presidential threshold 20%. Menggunakan aturan itu mereka dapat mencegah seorang tokoh populer karismatis yang bukan berasal dari lingkaran oligarki, memasuki arena pilpres.
Secara teoretis peraturan PT20% hanya membuka peluang maksimal 4 pasang capres (paslon) saja. Jumlah ini dapat berkurang menjadi 3, 2 bahkan 1 paslon saja.
Misalkan saja PDIP, Golkar dan Gerindra membentuk koalisi, maka gabungan suara mereka telah mencapai 50%. Enam partai tersisa paling banyak akan membentuk 2 paslon. Namun dengan sedikit bujukan dan tekanan PKB mungkin bisa diajak bergabung. Kalau hal itu terjadi, pilpres 2004 hanya mungkin mengajukan 2 paslon untuk dipilih rakyat.
Situasi di atas sangat mudah diciptakan mengingat hanya Partai Demokrat dan PKS yang sekarang berada di luar pemerintah. Jumlah kursi kedua partai tersebut kurang dari 20%. Keduanya terancam menjadi partai paria yang tidak bisa menentukan kehidupan politik. Nasib mereka sudah ditentukan dari sekarang, hanya bisa menjadi partai pendukung bukan pengusung.
Kemungkinan terakhir ini sangat realistis mengingat peta politik saat ini koalisi pemerintah menguasai 82% kursi parlemen. Koalisi itu dengan mudah dapat dipecah untuk mengusung 2 paslon. Demokrat dan PKS dibiarkan berada di pinggir jalan menjadi penonton saja. Dengan demikian keinginan oligarki dan sekutu-sekutunya untuk menyingkirkan tokoh-tokoh masyarakat yang populer untuk menjadi capres, berhasil gemilang. Presiden terpilih 2024 sudah dipastikan berasal dari penunjukkan oligarki.
FAKTOR SUBJEKTIF PRESIDENTIAL THRESHOLD
Aturan presidential threshold telah berlaku ketika Yudhoyono memenangkan pilpres 2009. Mengapa aturan tersebut tidak menyebabkan dibungkamnya parlemen?
Secara teoretis dengan dukungan partai-partai di kabinetnya (hanya PDIP dan Gerindra berada di luar kabinet), Yudhoyono dapat membungkam parlemen. Tetapi hal itu tidak ia lakukan.
Yudhoyono nampaknya memegang komitmennya kepada demokrasi. Ia mungkin tidak mau terjebak seperti Soeharto untuk melakukan tindakan keras yang berdampak pembungkaman parlemen. Atau, ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi dapat mengatasi tekanan-tekanan politik dari parlemen. Apapun alasannya, secara subjektif Yudhoyono tidak menggunakan kekuasaan (walau bisa) untuk membungkam parlemen.
Kenyataan bahwa parlemen telah terbungkam menimbulkan pertanyaan kepada komitmen Presiden Jokowi terhadap demokrasi. Beberapa dugaan dapat diungkapkan tetapi semuanya spekulatif. Karena subjektivitas seorang pemimpin susah dibuktikan dan susah diukur. Beberapa dugaan antara lain, pertama, ada rencana politik jangka panjang yang sangat kontroversial. Kalau rencana itu dijalankan di tengah parlemen yang kritis, dikhawatirkan rencana tersebut akan gagal total. Kedua, memang tidak ada desain demokrasi di dalam benak lingkaran inti penguasa. Argumen mereka, biasanya, rakyat butuh kesejahteraan bukan demokrasi. Argumen ini mirip dengan ujaran Deng Xiaoping, “Tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus.” Keduanya memiliki maksud yang sama tetapi disampaikan dari perspektif yang berlawanan.
Perspektif Indonesia adalah apa yang disebutkan dalam mukadimah UUD 1945, “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam … susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan…”. Ringkasnya, perspektif negara kita adalah negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Negara demokrasi berarti negara yang mempraktekan demokrasi sebagaimana dimengerti oleh masyarakat internasional. Walau demokrasi memiliki watak universal, demokrasi dipraktekkan sesuai dengan nilai-nilai yang telah berkembang di Indonesia. Diantara nilai-nilai lokal yang dipreservasi tentunya tidak termasuk nilai-nilai feodal dan patrimonial. Nilai-nilai itu bertentangan dengan nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang ingin dikembangkan dalam Indonesia moderen.
Mahkamah Konstitusi kembali diuji untuk menegaskan dimana sesungguhnya bangsa dan negara ini berada. Masihkah berada di jalan demokrasi atau sudah berbalik menuju jalan otoritarian yang dulu telah ditinggalkan?