Fusilatnews – Ketika Purbaya Yudhi Sadewa resmi diangkat menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati, publik kembali disuguhi bukti betapa politik Indonesia kerap menempatkan loyalitas politik di atas kapabilitas teknokrat. Padahal, jabatan Menkeu bukan sekadar kursi birokrasi: ia adalah pusat komando fiskal, jantung ekonomi, sekaligus arena kompromi politik kelas atas.
Dari LPS ke Kemenkeu: Jalan Mulus yang Dipelihara
Sebelum menempati kursi Menkeu, Purbaya sempat menahkodai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di sana ia berurusan langsung dengan kepercayaan publik terhadap simpanan bank. Pengalamannya di LPS seolah dijadikan batu loncatan menuju kursi yang lebih tinggi: Menteri Keuangan.
Namun, di balik “jalan mulus” itu, jelas terlihat jejak patronase politik. Kariernya tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Luhut Binsar Pandjaitan yang mengorbitkannya sejak 2015. Restu Jokowi kemudian menjadi penguat legitimasi. Dan kini, pengesahan dari Prabowo menutup lingkar kekuasaan itu.
Luhut, Jokowi, dan Prabowo: Segitiga Kekuasaan
Sulit menampik bahwa Purbaya adalah produk dari segitiga kekuasaan:
- Luhut yang pertama kali mengajaknya masuk ke lingkar dalam Istana.
- Jokowi yang memberinya restu penuh pada jabatan-jabatan vital.
- Prabowo yang kini secara formal menempatkannya di kursi Menkeu.
Di titik ini, Purbaya bukan hanya teknokrat. Ia adalah simbol kompromi elite yang saling menopang untuk menjaga kesinambungan kepentingan politik dan ekonomi lintas rezim.
Menggantikan Sri Mulyani: Simbol Pergeseran
Penggantian Sri Mulyani dengan Purbaya adalah momen yang sangat signifikan. Sri Mulyani selama ini dipandang sebagai ikon profesionalisme, wajah “rasional” pemerintah di mata investor internasional, dan benteng fiskal Indonesia.
Digantinya Sri Mulyani dengan Purbaya menandai pergeseran:
- Dari figur yang relatif independen ke sosok yang tumbuh dalam patronase politik.
- Dari teknokrat global dengan jaringan internasional ke teknokrat domestik dengan basis loyalitas pada elite nasional.
Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Kemenkeu masih bisa berdiri sebagai institusi yang independen menjaga fiskal negara, ataukah akan lebih lentur terhadap intervensi politik?
Risiko Politisasi Fiskal
Menempatkan orang dekat patron ke kursi Menkeu membuka risiko serius:
- Kebijakan fiskal bisa terseret kompromi politik. APBN berpotensi lebih mudah dijadikan alat transaksi kekuasaan ketimbang instrumen pembangunan berkelanjutan.
- Kepercayaan investor internasional bisa terganggu. Sri Mulyani punya reputasi global, sementara Purbaya lebih dikenal dalam lingkar domestik. Ini bisa menimbulkan tanda tanya di pasar keuangan.
- LPS dan Kemenkeu bisa terhubung terlalu erat. Dengan latar belakang Purbaya di LPS, publik khawatir ada konflik kepentingan dalam pengelolaan stabilitas perbankan dan fiskal negara.
Penutup: Ujian Besar Seorang Teknokrat
Purbaya Yudhi Sadewa kini memegang jabatan yang menentukan arah ekonomi bangsa. Namun, publik akan terus menagih jawabannya:
- Apakah ia mampu tampil sebagai Menteri Keuangan independen, yang menjaga APBN dari tarikan politik patron?
- Atau ia sekadar melanjutkan pola lama, di mana jabatan strategis adalah hadiah dari lingkar kuasa?
Sejarah akan menilai. Tapi yang pasti, pengangkatan Purbaya menggantikan Sri Mulyani mengirimkan pesan jelas: di republik ini, politik selalu lebih dulu menentukan, baru meritokrasi menyusul di belakangnya.























