Dalam satu ayat Al-Qur’an, Tuhan menyatakan dengan tegas: “Inni ja’ilun fil-ardi khalifah” — “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Sebuah mandat luhur, yang mengangkat manusia sebagai wakil Tuhan di dunia. Tapi di balik keagungan gelar itu, terselip pula godaan yang paling purba: merasa berkuasa atas segalanya, termasuk atas alam.
Itulah titik kegelisahan yang muncul saat membaca buku Fresh Banana Leave. Penulisnya, seorang akademisi yang lama berkutat dengan konservasi, pelan-pelan mulai menyadari: logika dan angka yang selama ini ia anggap sebagai jalan memahami alam, ternyata tak cukup. Bahkan cenderung menyesatkan. Sains membuatnya merasa mengerti, tapi juga membuatnya lupa bagaimana caranya merasa dekat.
“Seolah kita berkuasa atas alam hanya karena kita bisa menghitung dan memetakan,” tulisnya. Sebuah kesombongan epistemik yang tanpa sadar mewarisi tafsir lama atas kata “khalifah” — sebagai penguasa, bukan penjaga.
Sementara itu, di Jepang, Saya menemukan cara pandang yang nyaris kontras. Masyarakat negeri itu tidak meletakkan diri sebagai pemimpin alam, apalagi penguasa. Mereka adalah bagian dari alam. Gunung tidak ditaklukkan, tapi dihormati. Sungai tidak dikuasai, tapi dijaga alirannya. Bagi banyak orang Jepang, menyatu dengan alam bukan pilihan spiritual, tapi cara hidup. Tak ada konsep khalifah di sana, tapi ada kesadaran ekologis yang jauh lebih dalam.
Di situlah kerisauan penulis tumbuh: mungkinkah justru konsep kekhalifahan yang salah tafsir itulah yang menjauhkan kita dari rasa?
Saat ia mulai bekerja langsung di lapangan—bersama masyarakat adat, petani, dan para penjaga hutan tradisional—ia tersentak. Orang-orang yang tak pernah membaca jurnal ilmiah itu justru memahami alam lewat rasa. Mereka tahu kapan hujan akan turun hanya dari bau tanah. Mereka tahu bagaimana menjaga kesuburan tanpa satu pun rumus kimia. Mereka tak pernah mengklaim sebagai “khalifah”, tapi perilaku mereka jauh lebih mencerminkan tanggung jawab seorang penjaga bumi.
Lalu, siapa sebenarnya yang lebih dekat dengan mandat Tuhan?
Mungkin, selama ini kita terlalu sibuk menafsirkan kata “khalifah” sebagai kekuasaan, bukan sebagai kedekatan. Kita lupa bahwa menjadi wakil Tuhan di bumi bukan berarti menaklukkan bumi, tapi merawatnya — dengan cinta, bukan dominasi.
Fresh Banana Leave bukan buku yang memberi jawaban, tapi membuka ruang tanya. Tentang arah konservasi modern, tentang logika yang dingin, dan tentang hilangnya rasa dalam hubungan manusia dengan alam. Barangkali, seperti yang disiratkan buku itu, untuk menjadi khalifah yang sejati, kita harus belajar lebih banyak dari mereka yang tak mengklaim gelar apa-apa — hanya hidup, diam-diam, menjaga bumi dengan penuh rasa.