Jakarta – Fusilatnews – Eksploitasi tambang nikel yang mulai menjamah pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai sorotan tajam dari para wakil rakyat di Senayan. Kritik dan kecaman datang dari berbagai fraksi, baik dari barisan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, maupun dari fraksi-fraksi yang kerap mengambil sikap ambigu—kadang sebagai oposisi, kadang sebagai pendukung.
Secara umum, mereka menyayangkan aktivitas pertambangan yang dinilai merusak ekosistem laut dan mengancam masa depan pariwisata di wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga biodiversitas dunia.
Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay dari Fraksi PAN, menuntut pemerintah segera melakukan evaluasi total terhadap semua perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat. Ia menegaskan, tidak boleh ada toleransi bagi perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.
“Evaluasi semua perusahaan tambang yang beroperasi di sana. Jika terbukti merusak, izinnya harus dicabut,” tegas Saleh dalam pernyataan tertulis, Senin (9/6/2025).
Saleh juga mengingatkan pemerintah agar tidak semata-mata melihat persoalan ini dari sisi ekonomi perusahaan. Menurutnya, pelestarian lingkungan jauh lebih penting demi masa depan rakyat Papua dan generasi mendatang.
“Jangan sampai perusahaan untung, tapi lingkungan dan masyarakat sekitar menderita. Pemerintah pusat dan daerah harus mengutamakan kelestarian alam Raja Ampat,” imbuhnya.
Senada dengan Saleh, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, mempertanyakan sikap Kementerian ESDM yang dinilainya tidak konsisten dalam menindak pelanggaran. Ia merujuk temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut ada empat perusahaan tambang di Raja Ampat yang melanggar aturan.
Evita menuntut keadilan dalam penegakan hukum, tanpa tebang pilih.
“Pemerintah harus bertindak tegas. Semua perusahaan yang melanggar harus diperlakukan sama di mata hukum,” kata legislator dari PDI Perjuangan tersebut.
Ia juga menyoroti adanya aktivitas tambang di kawasan konservasi, seperti di Pulau Kawe, Manuran, dan Batangpele. Padahal, berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kegiatan pertambangan di pulau kecil dilarang keras.
“Pulau Gag dan lainnya adalah pulau kecil yang secara hukum tak boleh ditambang. Ini harus jadi peringatan serius,” tegasnya.
Evita menilai, keberadaan tambang di Raja Ampat bertentangan dengan visi pengembangan pariwisata berkelanjutan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
“Jangan menipu publik. Pertambangan dan pariwisata berkelanjutan tidak bisa jalan beriringan di Raja Ampat,” tukasnya.
Sementara itu, Daniel Johan dari Fraksi PKB mendesak pemerintah mencabut seluruh izin usaha pertambangan (IUP) nikel di wilayah tersebut dan menghentikan seluruh aktivitas secara permanen.
“Semua izin harus dicabut. Aktivitas tambang saat ini dan ke depan harus dihentikan total,” tegas anggota Komisi IV DPR ini.
Daniel juga menekankan bahwa kerusakan ekologis yang ditimbulkan tidak sebanding dengan keuntungan finansial. Sebagai ikon wisata kelas dunia, Raja Ampat semestinya dilindungi, bukan dijarah.
“Raja Ampat adalah kebanggaan Indonesia. Kalau rusak karena tambang, kita kehilangan warisan besar,” ujarnya.
Ia pun mendesak dilakukan penyelidikan terhadap siapa pun yang mengeluarkan izin pertambangan di pulau-pulau kecil yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.