Fusilatnews – Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang punya prinsip sederhana namun efektif: “Serahkan pada ahlinya.” Di bawah prinsip ini, ekonomi diserahkan kepada teknokrat macam Widjojo Nitisastro, urusan hukum pada profesor-profesor hukum terpilih, dan pertanian pada Sarwono dan Suhardiman. Tapi ada satu hal yang selalu ia tangani sendiri: urusan politik dan keamanan. Militer adalah pilar utama kekuasaan. Namun, bahkan dalam segala otoritariannya, Soeharto tidak membentuk batalyon tentara untuk menggarap sawah atau melayani pasien di puskesmas.
Kini, di tengah euforia kekuasaan sipil yang perlahan mundur dari makna sejatinya, militer justru kembali maju. Bukan untuk menenteng senjata atau menjaga perbatasan, tapi—ironisnya—untuk mengelola urusan pangan, kesehatan, bahkan peternakan.
Pada 4 Juni 2025, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana mengumumkan perekrutan 24.000 calon tamtama guna membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan. Dalam bahasa pers, ini terdengar seperti kabar baik: ada lapangan kerja, ada pembangunan. Tapi bagi mereka yang paham sejarah dan konstitusi, ini alarm bahaya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari lebih dari 20 lembaga HAM dan pro-demokrasi, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk pembajakan terhadap jati diri TNI. “TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang, bukan mengurus pertanian, perkebunan, peternakan maupun pelayanan kesehatan,” ujar Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia.
Urusan militer dan sipil memang punya garis demarkasi yang tegas dalam sistem demokrasi. Itu sebabnya Reformasi 1998 menuntut militer kembali ke barak, meninggalkan urusan dagang, birokrasi, dan partai politik. Tapi kini, kita melihat gejala yang berlawanan: TNI diberi peran-peran sipil secara masif, dilegitimasi lewat rekrutmen raksasa yang menyaru sebagai program pembangunan.
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan sekadar urusan anggaran dan penempatan personel. Ini soal filosofi bernegara. Ketika fungsi sipil diambil alih oleh militer, maka sipil pun kehilangan pijakan moral dan mandat profesional. Kita kembali ke zaman ketika semua urusan—dari padi hingga puskesmas—diserahkan pada tentara, dan bukan pada ahlinya.
Dalam dunia militer, seorang tamtama dilatih untuk tunduk pada perintah, bukan untuk berpikir solutif layaknya petani atau dokter. Maka, ketika mereka dikerahkan untuk menggarap pangan atau melayani kesehatan, kita tidak sedang membangun negara, tapi sedang merusaknya dari dalam. Ini bukan lagi dualisme fungsi, tapi pemusnahan fungsi.
Dan jangan salah, ancaman perang tak pernah benar-benar pergi. Dunia semakin kompleks. Ancaman siber, milisi transnasional, konflik geopolitik, semua membutuhkan TNI yang profesional, fokus, dan siap tempur. Tapi alih-alih memperkuat kekuatan tempur, kita justru mengubah tentara menjadi buruh proyek sosial yang bisa digantikan oleh sipil.
Jika Presiden Prabowo Subianto tidak segera menghentikan program ini, maka bukan hanya konstitusi yang dilanggar, tapi juga masa depan TNI sebagai institusi yang profesional. Reformasi yang berdarah-darah itu akan sia-sia.
Di masa lalu, kita menyebut militerisme sebagai momok. Kini, ia kembali menjelma—bukan lewat kekerasan, tapi lewat pengaburan peran. Ketika tentara turun ke sawah dan klinik, maka sipil pun dipaksa minggir. Dan saat itu terjadi, demokrasi hanya tinggal nama.
Soeharto, seburuk-buruknya dalam urusan HAM, tahu satu hal penting: urusan negara harus diserahkan pada ahlinya. Sayangnya, pelajaran itu justru dilupakan di era yang mengaku demokratis ini.
Fusilatnews
Menjadi Mata Hati Bangsa