Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
Korupsi, kebodohan sistemik, dan kolusi antara aparat dengan oligarki telah membawa bangsa Indonesia dalam krisis moral dan kehilangan arah. Jika tak segera dihentikan, maka kita hanya akan menjadi penonton dari kehancuran negara yang kita cintai ini.
Bangsa Indonesia tengah menghadapi ancaman serius dari dalam tubuhnya sendiri. Korupsi merajalela, bandar narkoba beroperasi bebas, dan judi online menjerat generasi muda. Ini bukan sekadar kejahatan biasa—ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara, yang dampaknya bisa dikategorikan sebagai subversif.
Sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno, “Kita bukan bodoh dan bukan miskin, tetapi kita dibodohkan dan dimiskinkan oleh sebuah sistem.” Kalimat itu kini menjadi cermin tajam bagi kondisi bangsa. Kebodohan sistemik bahkan membuat perkara seperti keaslian ijazah seseorang bisa menguras energi bangsa berbulan-bulan, melibatkan kampus, guru besar, hingga aparat penegak hukum. Semua itu terjadi karena integritas dan kejujuran telah menjadi barang langka dalam sistem kita.
Hukuman Mati: Pilihan Terakhir yang Mendesak
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat nyatanya justru menjadi bagian dari persoalan korupsi itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, rakyat tak bisa lagi berharap pada mekanisme perwakilan. Maka, referendum—sebagai bentuk demokrasi langsung—harus diambil untuk menentukan nasib bangsa ini: apakah kita berani menegakkan hukuman mati bagi koruptor, bandar narkoba, dan bandar judi online?
Referendum ini bukanlah bentuk ketergesaan emosional, melainkan jawaban terhadap kebuntuan hukum dan ketidakberdayaan negara dalam menghadirkan efek jera. Hukuman mati bisa menjadi shock therapy untuk kejahatan luar biasa. Di sisi lain, penyitaan aset juga harus disegerakan dan tak boleh lagi bergantung pada kerumitan regulasi DPR.
HAM dan Dilema Keadilan
Kritik terhadap hukuman mati kerap bersandar pada isu Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak untuk hidup. Tapi bagaimana dengan hak hidup jutaan rakyat yang dirampas masa depannya oleh korupsi dan narkoba? Bukankah HAM rakyat banyak lebih penting dari HAM individu yang menghancurkan bangsa?
Di sinilah kita harus berani mengambil sikap: bahwa demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, negara harus tegas dan adil—bukan lunak dan ragu.
Negara Tak Boleh Takluk pada Oligarki
Negara seharusnya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Aparat negara justru kerap menjadi pelindung bagi perampas tanah rakyat, seperti yang terjadi di Rempang, Morowali, atau proyek-proyek strategis nasional seperti PIK2. Bahkan, aparat pemerintah daerah tak diberi akses untuk masuk ke kawasan tambang di Morowali—sebuah potret nyata dari “negara dalam negara.”
Jika aparat negara ikut membekingi kezaliman, maka visi negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945—merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur—akan tinggal narasi kosong belaka. Rakyat bukan lagi tuan, melainkan budak dari sistem dan segelintir elite.
Kembali ke Negara Proklamasi
Akar dari semua persoalan ini adalah penyimpangan dari dasar negara yang sejati: Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945. Amandemen UUD telah menghapus kedaulatan rakyat yang sejatinya berada di tangan MPR. Kini, rakyat kehilangan pegangan dan arah, bahkan kampus dan akademisi pun ikut larut dalam hal-hal remeh seperti urusan ijazah palsu, alih-alih memperjuangkan integritas konstitusi dan martabat bangsa.
Kita harus kembali pada kejujuran sebagai landasan berbangsa. Pendidikan karakter harus diperkuat, wawasan kebangsaan ditanamkan sejak dini, dan semangat gotong royong harus dibangkitkan kembali.
Kesimpulan dan Saran
Solusi atas kebobrokan bangsa ini bukanlah hal yang mustahil. Tapi perlu keberanian. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil:
- Hidupkan kembali Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dalam format baru, untuk menangani korupsi, narkoba, dan judi online dengan tindakan tegas dan terukur.
- Bentuk Sekber SISHANKAMRATA (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta) dengan melibatkan ormas dan pemuda untuk menjaga tanah air dan menertibkan penyimpangan, termasuk pengembalian tanah rakyat dari tangan oligarki.
- Pembinaan karakter kebangsaan di sekolah agar generasi muda tidak menjadi korban sistem rusak.
- Kembalikan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Wawasan Nusantara, sebagai fondasi kesadaran nasional dan kebangsaan.
Referendum tentang hukuman mati bukan akhir dari demokrasi—justru itulah ekspresi paling otentik dari demokrasi yang sejati: ketika rakyat mengambil kembali kedaulatannya untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
Prihandoyo Kuswanto adalah Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila.