• Login
ADVERTISEMENT
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
Fusilat News
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Birokrasi

REKAYASA RASIONALITAS DALAM WHOOSH

Radhar Tribaskoro by Radhar Tribaskoro
November 4, 2025
in Birokrasi, Feature
0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Radhar Tribaskoro

Pernyataan mantan Presiden Joko Widodo bahwa proyek kereta cepat Whoosh adalah “investasi sosial”—yang ia sampaikan Senin, 27 Oktober 2025, —telah membuka sebuah kotak pandora yang selama ini hanya bergetar pelan di ruang diskusi kebijakan dan ruang-ruang pemikiran publik yang kritis. Ucapan itu, yang tampaknya netral dan berniat merasionalisasi keputusan besar, justru memaksa kita menengok ke dalam kontradiksi mendasar yang menyelimuti perencanaan proyek ini sejak awal.

Jika Whoosh adalah investasi sosial, logika ekonominya jelas: investasi sosial tidak dibangun untuk mencari laba, tetapi untuk menciptakan manfaat kolektif jangka panjang. Misalnya melalui peningkatan nilai tambah kawasan melalui projek Transit Oriented Development (TOD), mempercepat mobilitas penduduk, memperluas integrasi tenaga kerja, dan membentuk kota-kota yang saling terhubung secara produktif.

Mengetahui hakekat itu, investasi sosial seperti kereta cepat (High Speed Rail, HRS) selalu melibatkan peran negara karena tidak mungkin projek dengan modal masif seperti dibiayai oleh swasta. Dengan kata lain, tawaran Jepang untuk menggunakan skema pembiayaan pemerintah-ke-pemerintah (G2G), dengan bunga modal sangat rendah (0,1% seperti yang ditawarkan Jepang) dan masa pengembalian utang sangat panjang (40–50 tahun), adalah tawaran yang sangat rasional. Karena sifat dasarnya itulah, tidak ada satu pun negara di dunia yang membangun kereta cepat sebagai program bisnis murni. Jepang, Prancis, Spanyol, Inggris, Tiongkok, Arab Saudi—semuanya membangun dengan jaminan negara, melalui APBN, subsidi eksplisit, atau penjaminan fiskal jangka panjang.

Sehingga risiko fiskal terkendali, beban jangka panjang dapat diatur, dan manfaat publik dapat tumbuh seiring waktu tanpa menekan APBN secara brutal.

Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Mengapa pemerintah justru memilih skema B2B dengan China—yang memaksa BUMN membiayai proyek dengan utang berbunga komersial sekitar 3%–4% dan tenor yang jauh lebih pendek. BUMN tidak hanya diposisikan sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai penanggung risiko keuangan—sebuah langkah yang bertentangan dengan prinsip dasar pengelolaan infrastruktur publik.

Di sinilah letak jurang yang menganga: argumen investasi sosial tidak sejalan dengan desain pembiayaan. Di dalam jurang itu terdapat selisih biaya puluhan trilyun rupiah. Karena itu kesenjangan antara alasan yang diucapkan dan struktur keputusan yang dipilih tidak dapat dianggap sebagai kebetulan atau kebodohan. Kesenjangan itu mengindikasikan mens rea—sebuah niat tersembunyi, atau kehendak yang tidak diungkap di ruang terang.
Mengapa Infrastruktur Publik Tidak Bisa Mengandalkan Skema B2B

Untuk memahami keganjilan ini, kita perlu kembali ke dasar pengertian infrastruktur. Infrastruktur bukan sekadar benda fisik—rel, kereta, jalan, pelabuhan, bandara. Infrastruktur adalah pondasi material dari aktivitas sosial dan ekonomi. Ia adalah mesin tak terlihat yang membuat seluruh kehidupan modern bergerak.

Karena itu, infrastruktur memiliki tiga karakter utama:
Pertama, biaya investasi awal sangat tinggi. Infrastruktur besar memerlukan modal awal yang tidak bisa dikembalikan dalam waktu singkat. Kedua, manfaatnya bersifat eksternal dan jangka panjang. Infrastruktur menciptakan manfaat tak langsung: kenaikan produktivitas, pengembangan kawasan, penguatan nilai lahan, peningkatan konektivitas. Manfaat ini tidak dapat dimasukkan ke dalam tiket atau tarif. Ketiga, risiko proyek harus ditanggung negara, bukan swasta. Karena manfaat yang muncul bergantung pada dinamika makro—pertumbuhan ekonomi, migrasi tenaga kerja, kebijakan tata ruang, pola permukiman—yang semuanya berada di luar kontrol pelaku usaha.

Maka dalam teori pembangunan infrastruktur dunia, peran negara adalah sentral. Negara memastikan kelangsungan proyek, menjamin pembiayaan, dan menyerap risiko jangka panjang.

Karena itu, tidak ada satu pun negara yang membangun kereta cepat dengan skema B2B murni. Tidak di Jepang. Tidak di Prancis. Tidak di China. Tidak di Spanyol. Tidak di Jerman. Tidak di Amerika Serikat ketika mencoba California High-Speed Rail.

Semua proyek ini menyertakan dukungan fiskal negara.

Contoh Internasional dan Pembelajaran Penting

Ketika Jepang membangun Shinkansen pertama pada 1964, proyek itu tidak menguntungkan selama 30 tahun pertama. Namun Jepang menyiapkan integrasi tata ruang kota, mendorong konsentrasi bisnis di stasiun, dan menciptakan model Transit-Oriented Development (TOD) yang kuat. Hari ini, Jepang menuai manfaat ekonomi jangka panjang yang sangat besar—tetapi itu bukan keuntungan tiket, melainkan pertumbuhan nilai kawasan.
Prancis dengan TGV juga menunjukkan pola serupa: negara membiayai konstruksi infrastruktur dasar (rel, terowongan, stasiun). Operator kereta hanya mengelola operasional. Kerugiannya diserap negara sebagai public service obligation.

China sendiri, yang menjadi acuan Whoosh, membiayai kereta cepat melalui BUMN yang dijamin negara. Utang mereka adalah sovereign-backed—artinya tetap ditopang APBN dan kebijakan fiskal pusat. Meski terlihat B2B, pada praktiknya China menjalankan model G2G terselubung dengan kontrol penuh negara atas risiko.

Karena itu, ketika Indonesia memilih B2B tanpa jaminan fiskal eksplisit, itu bukan hanya langkah yang tidak lazim—itu anomali global.

Pertanyaan yang Tidak Dapat Diabaikan: Mengapa Tidak Memilih Jepang?

Jika benar Whoosh adalah investasi sosial, maka skema Jepang adalah pilihan yang paling rasional:
– bunga ±0,1%
– tenor 40–50 tahun
– risiko fiskal minimal
– tata kelola sangat transparan

Namun pemerintah justru memilih:
– bunga ±3–4%
– tenor lebih pendek
– risiko pada BUMN
– ruang negosiasi kabur

Di titik ini, jawaban teknis tidak lagi cukup. Kita sedang memasuki wilayah desain kepentingan.

Skema Jepang memiliki kontrol audit yang ketat, standar akuntabilitas tinggi, dan meminimalkan ruang untuk rente dan manipulasi biaya. Skema China memberi ruang yang lebih besar untuk mark-up, perubahan kontrak, penilaian ulang biaya, dan struktur pembiayaan yang kabur.

Dengan kata lain:
Skema Jepang lebih menguntungkan negara. Skema China lebih menguntungkan elite.

Dan di sinilah mens rea itu bersemayam: Keputusan yang tidak mengikuti logika ekonomi, tetapi logika rente.

Kegagalan Desain-Beban Sepanjang Usia

Hari ini, Whoosh tampak megah. Ia cepat, modern, dan memukau. Tetapi di balik itu:
– biayanya membengkak dari ±80 triliun menjadi ±126 triliun
– konsorsium BUMN kini menanggung utang besar dengan pendapatan yang tidak mampu menutup bunga
– negara harus turun tangan pada akhirnya

Ketika hari itu tiba, pilihan-pilihan politik akan tampak dalam wujud yang paling telanjang:
– subsidi sosial dipotong
– pajak dinaikkan
– belanja kesehatan dan pendidikan dikurangi
– APBN dialihkan menyelamatkan proyek yang sejak awal salah desain

Dan rakyat akan bertanya:”Mengapa tidak ada yang memperingatkan kita? Jawabannya keras: “Sudah banyak yang memperingatkan.” Namun suara mereka dikalahkan oleh ketidak-pedulian penguas dan gemuruh mesin yang meluncur di rel.

Kita Tidak Dikejar Masa Depan, Kita Dihajar Masa Lalu. Lagi dan Lagi.

Whoosh bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol bagaimana kekuasaan dapat mengemas keputusan yang tidak rasional menjadi sesuatu yang tampak mulia. Yang gagal bukan teknologinya. Yang gagal adalah kejujurannya.

Kita memang sudah membangun kereta yang melaju 350 km/jam. Tetapi yang tidak kita bangun adalah cara negara berpikir dengan jernih.

Dan sekarang pekerjaan terpenting bukanlah mengoperasikan kereta itu. Tetapi mengungkap motif di balik pilihannya—agar negara tidak lagi berlari tanpa arah di atas rel yang sedang retak.===

Cimahi, 4 Oktober 2025

Penulis:
Berijasah asli dari Jurusan Studi Pembangunan FE-Unpad
Anggota Komite Eksekutif KAMI
Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
ADVERTISEMENT
Previous Post

Lebaran 2026 Diprediksi Jatuh pada Maret, Pemerintah Tetapkan Cuti Bersama Selama Lima Hari

Next Post

Tak Ada Ampun bagi Koruptor di Era Prabowo

Radhar Tribaskoro

Radhar Tribaskoro

Related Posts

Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili
Bencana

Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili

November 7, 2025
Dalih Sosok Manusia Pendusta; “Tidak Wajib Memperlihatkan Ijazahnya”
Feature

Pengadilan yang Akan Seru dan Sengit – Ijazah yang Tak Pernah Diperlihatkan

November 7, 2025
Feature

SMOKE AND MIRRORS DI BALIK WHOOSH: ILUSI HEROISME, HILANG SUBSTANSI

November 7, 2025
Next Post
Tak Ada Ampun bagi Koruptor di Era Prabowo

Tak Ada Ampun bagi Koruptor di Era Prabowo

Menkominfo : Semua Orang Bisa Jadi Duta Anti-Judi Slot

Badut Politik Itu Bernama Budi Arie Setiadi

Notifikasi Berita

Subscribe

STAY CONNECTED

ADVERTISEMENT

Reporters' Tweets

Pojok KSP

  • All
  • Pojok KSP
Pemarintah Akui Kebijakan Pemerintah Membuat Warga di Pulau Rempang Tidak Nyaman
Birokrasi

Komisi Basa-basi Reformasi Polri

by Karyudi Sutajah Putra
November 7, 2025
0

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI) Jakarta - Berdasarkan Keputusan Presiden No 122P Tahun 2025,...

Read more
Naik karena Rakyat, Tumbang karena Cendekia

Macan Asia Itu Kini Mengembik

November 6, 2025
Jawaban Nasdem Terkait Tudingan Uang Rp 30 M  Disita KPK, Akan Digunakan Untuk Keluarga Nyaleg

Tak Mungkin Jeruk Makan Jeruk: Masih Sanggupkah Ahmad Sahroni, Eko Patrio dan Nafa Urbach Berkepala Tegak?

November 6, 2025
Prev Next
ADVERTISEMENT
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

November 16, 2024
Zalimnya Nadiem Makarim

Zalimnya Nadiem Makarim

February 3, 2025
Beranikah Prabowo Melawan Aguan?

Akhirnya Pagar Laut Itu Tak Bertuan

January 29, 2025
Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

January 6, 2025
Copot Kapuspenkum Kejagung!

Copot Kapuspenkum Kejagung!

March 13, 2025
Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

May 19, 2024
Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

24
Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

18
Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

8
Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

7
Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

4
Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

4
Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili

Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili

November 7, 2025
MILAD KE 80 MASYUMI –  Masyumi Bangkit, Indonesia Maju

MILAD KE 80 MASYUMI – Masyumi Bangkit, Indonesia Maju

November 7, 2025
Dalih Sosok Manusia Pendusta; “Tidak Wajib Memperlihatkan Ijazahnya”

Pengadilan yang Akan Seru dan Sengit – Ijazah yang Tak Pernah Diperlihatkan

November 7, 2025

SMOKE AND MIRRORS DI BALIK WHOOSH: ILUSI HEROISME, HILANG SUBSTANSI

November 7, 2025

WHOOSH BUKAN BARANG PUBLIK BUKAN INVESTASI SOSIAL

November 7, 2025
Pemarintah Akui Kebijakan Pemerintah Membuat Warga di Pulau Rempang Tidak Nyaman

Komisi Basa-basi Reformasi Polri

November 7, 2025

Group Link

ADVERTISEMENT
Fusilat News

To Inform [ Berita-Pendidikan-Hiburan] dan To Warn [ Public Watchdog]. Proximity, Timely, Akurasi dan Needed.

Follow Us

About Us

  • About Us

Recent News

Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili

Ketika Hukum Lumpuh, Rakyat Yang Mengadili

November 7, 2025
MILAD KE 80 MASYUMI –  Masyumi Bangkit, Indonesia Maju

MILAD KE 80 MASYUMI – Masyumi Bangkit, Indonesia Maju

November 7, 2025

Berantas Kezaliman

Sedeqahkan sedikit Rizki Anda Untuk Memberantas Korupsi, Penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan Yang Tumbuh Subur

BCA No 233 146 5587

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

 

Loading Comments...