Jakarta – DPR dan pemerintah secara diam-diam telah menyetujui revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), untuk dibahas pada rapat paripurna. Persetujuan perubahan tersebut dilaksanakan secara diam-diam pada rapat pleno tingkat I di DPR bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) pada masa reses DPR, Senin (13/5/2024).
Menanggapi isu tersebut, Setara Institute melalui peneliti seniornya, Dr Ismail Hasani, Rabu (15/5/2024), menyatakan beberapa sikap:
Pertama, baik DPR maupun pemerintah telah melakukan kekeliruan yang sama dengan membahas revisi UU MK sebelumnya, yakni UU No 7 Tahun 2020.
“Pembahasan yang dilakukan secara kilat dan dalam forum tertutup sejatinya melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas-asas berupa kejelasan tujuan dan keterbukaan telah dilanggar dalam pembahasan revisi UU MK tersebut,” kata Ismail Hasani yang juga dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kedua, baik DPR maupun pemerintah sekali lagi telah abai dengan partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Gagalnya pemenuhan partisipasi tersebut berarti kegagalan terpenuhinya syarat formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak terpenuhinya syarat formil akan membuat revisi UU MK tidak memiliki validitas hukum,’ jelas Ismail.
Ketiga, baik DPR maupun pemerintah sesungguhnya secara sengaja terus-menerus melemahkan kelembagaan MK melalui agresi legislasi yang mengurangi efektivitas pembatasan kekuasaan serta “checks and balances”.
“Revisi UU MK ini adalah bentuk penggunaan instrumen hukum yang meruntuhkan tatanan demokrasi konstitusional yang telah dibangun sejak era reformasi demi melindungi berbagai agenda politik tertentu,” sesal Ismail.
Keempat, ketentuan mengenai pemberhentian Hakim Konstitusi melalui evaluasi hakim pada Pasal 23A membuka ruang intervensi pada kekuasaan kehakiman yang pada hakikatnya, menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kekuasaan negara yang merdeka.
“Mekanisme evaluasi hakim ini merupakan bentuk ‘court packing’ (usaha untuk mengatur komposisi hakim pada lembaga yudikatif, bertujuan untuk memenuhi misi-misi partisan dan kehendak penguasa), dengan mengeliminasi Hakim-hakim Konstitusi yang tidak sejalan dengan kekuasaan politik dan mengganti mereka dengan individu-individu hakim medioker dan patuh pada penguasa,” papar Ismail.
Kelima, berdasarkan hal tersebut, Setara Institute mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan revisi UU MK. “Usaha pelemahan MK akan melemahkan bangunan demokrasi konstitusional yang telah dipilih sebagai sistem politik dan pemerintahan pasca-reformasi. MK harus bebas dari intervensi kekuasaan politik serta melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk memastikan prinsip supremasi konstitusi ditegakkan. Praktik agresi legislasi berulang harus disudahi karena berpotensi mengkhianati kedaulatan rakyat yang menjadi sumber legitimasi kekuasaan,” tandas Ismail. (KSP)