Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta, Fusilatnews – Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini hendak melakukan “aneksasi” ranah sipil. Ironisnya, niat terselubung militer tersebut justru difasilitasi institusi sipil: DPR RI!
Aneksasi berarti suatu tindakan formal di mana suatu negara memproklamasikan kedaulatannya atas wilayah yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Contohnya aneksasi militer Israel atas wilayah Palestina.
Dalam konteks TNI, aneksasi dimaksud analog dengan suatu tindakan formal di mana entitas militer memproklamasikan kedaulatannya atas wilayah yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
Adapun niat militer meng-“aneksasi” ranah sipil tercermin dari draf revisi Undang-Undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Di antara pasal-pasal yang hendak direvisi adalah Pasal 39 huruf c tentang larangan prajurit aktif terlibat bisnis, serta Pasal 47 dan Pasal 53 tentang larangan prajurit aktif menduduki jabatan sipil.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro menyatakan, Pasal 39 huruf c tersebut bakal dibuang. Ia berdalih, seharusnya yang dilarang berkegiatan bisnis adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.
Adapun revisi Pasal 47 dan Pasal 53 akan mengubah ketentuan bila sebelumnya hanya prajurit yang sudah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer saja yang dapat menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga tertentu, menjadi prajurit aktif pun bisa menduduki jabatan sipil, dan tidak hanya terbatas pada kementerian dan lembaga tertentu, tetapi di semua kementerian dan lembaga.
“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden,” demikian bunyi Pasal 47 ayat (2) draf revisi UU TNI seperti dilansir sejumlah media.
Revisi UU TNI tersebut telah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR ke-18 Masa Sidang V Tahun 2023-2024, Selasa (28/5/2024). Bahkan DPR menyepakati revisi UU TNI tersebut sebagai usul inisiatif DPR. Artinya, pemerintah dalam hal ini TNI bisa “cuci tangan”.
Tentara berbisnis? Mengapa tidak? Kalau istri seorang prajurit aktif punya toko, dan suaminya membantu mengantarkan istrinya belanja ke pasar, apa salah?
Demikian kurang lebih yang menjadi alasan Kababinkum TNI Laksda Kresno Buntoro hendak membuang Pasal 39 huruf c UU TNI.
Padahal, meskipun dilarang melakukan kegiatan bisnis, namun faktanya selama ini tak sedikit prajurit aktif yang membantu istrinya berniaga. Mungkin maksud Pak Kresno adalah fenomena tersebut hendaknya diformakan saja melalui revisi UU TNI.
Akan tetapi agaknya Pak Kresno alpa atau bahkan menutup mata akan adanya fenomena oknum-oknum prajurit TNI aktif berbisnis kelapa sawit, tambang batu bara, atau menguasai Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di sejumlah wilayah di Indonesia, misalnya.
Legalisasi prajurit berbisnis akan menjadikan fenomena semacam itu bertambah parah.
Prajurit aktif menduduki jabatan sipil? Hal ini mengingatkan kita akan keberadaan Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), kini TNI yang berlaku selama berkuasanya rezim Orde Baru. Saat itu, ABRI di samping berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (hankam) negara, juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik (sospol).
Sebab itu, di ABRI waktu itu ada Kepala Staf Sosial dan Politik (Kassospol) di samping Kepala Staf Umum (Kasum), dan di DPR/MPR ada Fraksi ABRI yang berlanjut hingga awal era Reformasi sebagai Fraksi TNI/Polri.
Padahal, salah satu tuntutan gerakan Reformasi 1998 adalah penghapusan Dwifungsi ABRI, di samping pemberantasan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Artinya, jika prajurit aktif boleh menduduki jabatan-jabatan sipil maka TNI, pemerintah dan DPR telah mengkhianati cita-cita Reformasi 1998.
Legalisasi prajurit berbisnis dan menduduki jabatan-jabatan sipil hanya akan mendegradasi profesionalitas TNI.
Pun, akan mendegradasi netralitas TNI, karena kalau sudah masuk wilayah sipil maka prajurit aktif bisa melakukan keberpihakan terhadap orientasi dan preferensi politik atasannya.
Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah berkata, TNI dan rakyat adalah ibarat ikan dan airnya. TNI tak bisa dipisahkan dari rakyat.
Tidak itu saja. Salah satu jati diri TNI adalah Tentara Rakyat. Secara sederhana makna Tentara Rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk rakyat.
UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI pun menyatakan, Tentara Rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada perang tahun 1945-1949 dengan semboyan “merdeka atau mati”.
Lantas, sedangkal itukah TNI menerjemahkan apa yang dikatakan Jenderal Soedirman dan jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, dengan merevisi UU TNI sehingga prajurit aktif boleh berbisnis dan menduduki jabatan-jabatan sipil?
Izinkan aku bertanya!