Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Sistem demokrasi meniscayakan supremasi sipil. Begitu pun Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sayangnya, serangkaian peristiwa yang terjadi di negara demokrasi bernama Indonesia ini kini menunjukkan fenomena robohnya supremasi sipil.
Teranyar adalah dilantiknya bekas Kepala Kopolisian Daerah (Kapolda) Riau Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Senin (19/5/2025), menggantikan Rahman Hadi.
Berikutnya adalah isu bakal digantinya Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani oleh pejabat baru dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni Letnan Jenderal Djaka Budi Utama yang saat ini menjabat Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN).
Dilantiknya Iqbal sebagai Sekjen DPD menambah panjang daftar perwira tinggi aktif Polri yang menjabat di struktur kementerian/lembaga yang lazimnya diduduki pejabat dari sipil.
Begitu pun nanti, jika Askolani jadi digantikan oleh Djaka Budi Utama, maka makin bertambah panjanglah daftar perwira tinggi aktif TNI yang menjabat di struktur kementerian/lembaga yang lazimnya diduduki pejabat dari sipil.
Maraknya pos-pos sipil yang diduduki TNI aktif selaras dengan revisi Undang-Undang (UU) TNI, dari UU No 34 Tahun 2004 menjadi UU No 3 Tahun 2025 yang menambah jumlah kementerian/lembaga yang bisa diduduki TNI aktif, dari sebelumnya “hanya” 10 menjadi 14 kementerian/lembaga.
Data Imparsial, sedikitnya 2.500 prajurit TNI aktif menduduki sejumlah jabatan sipil pada 2023.
Fenomena tersebut membawa dua dampak sekaligus. Pertama, terganggunya sistem meritokrasi di birokrasi. Karier orang-orang sipil terhambat. Bahkan terjadi semacam pelecehan terhadap kemampuan sipil dalam mengelola birokrasi pemerintahan.
Jika dalihnya adalah banyak sipil yang korupsi, asumsi semacam itu tentulah tidak tepat. Pasalnya, tak sedikit pula tentara, dan juga polisi, terlibat kasus korupsi.
Kedua, melemahkan profesionalisme TNI. TNI yang mestinya fokus ke urusan pertahanan, sesuai tugas pokok dan fungsinya, justru mengurusi urusan-urusan sipil.
Di sisi lain, ada kecurigaan ekspansinya TNI ke ranah sipil untuk mengatasi penumpukan perwira non-job di institusi TNI. Begitu pun Polri.
Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU No 3 Tahun 2025 tentang TNI, tentara aktif bisa menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan;
Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional (sebelumnya 2 K/L berbeda);
Sekretariat Presiden dan Sekretariat Militer Presiden; Badan Intelijen Negara; Badan Siber dan/atau Sandi Negara;
Lembaga Ketahanan Nasional; Badan Search And Rescue (SAR) Nasional;
Badan Narkotika Nasional (BNN); Mahkamah Agung;
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); Badan Penanggulangan Bencana; Badan Penanggulangan Terorisme; Badan Keamanan Laut; dan
Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Yakinkah kita bahwa hanya 14 kementerian/lembaga itu yang diduduki TNI aktif?
Polri aktif pun sudah lama banyak yang menduduki jabatan-jabatan yang lazimnya diduduki sipil. Sebab itu, kepanjangan dari NKRI pun sering dipelesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan mutasi besar-besaran di jajaran perwira tinggi dan menengah kepolisian pada 12 Maret 2025. Dari 1.225 personel yang dipindahkan, sebanyak 25 perwira dimutasi ke jabatan di kementerian dan lembaga sipil.
Pasal 19 ayat (4) UU No 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan personel Polri bisa mengisi posisi di 11 kementerian/lembaga di instansi pusat yang mencakup koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara; sekretariat niliter presiden; intelijen negara; sandi negara; ketahanan nasional; pencarian dan pertolongan nasional; penanggulangan narkotika nasional; penanggulangan bencana nasional; penanggulangan terorisme; pemberantasan korupsi; dan keamanan laut.
Yakinkah kita bahwa hanya 11 kementerian/lembaga itu yang diduduki Polri aktif?
Di awal-awal era reformasi, TNI dan Polri benar-benar tunduk kepada supremasi sipil. Bahkan Menteri Pertahanan pun dari sipil. Namun lambat-laun mereka bangkit lagi. Kini TNI dan Polri bahkan ekspansi ke ranah sipil.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka robohnya supremasi sipil akan kian parah. Itulah!