Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pembayar Pajak
Jakarta – Nyaris semua provinsi di Jawa melakukan pemutihan pajak kendaraan bermotor. Mulai dari Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, hingga menyusul Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kecuali Daerah Khusus Jakarta yang tanpa ampun.
Dedi Mulyadi usai dilantik jadi Gubernur Jabar langsung deklarasi akan memutihkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di wilayahnya. Sontak, warga Pasundan langsung antusias dan berbondong-bondong membayar PKB.
Akhirnya Demul yang sudah populer pun kian populer di mata rakyat. Sudah populis tambah populis. Bahkan banyak yang menyebut Demul layak menjadi calon presiden di 2029 mendatang.
Sebaliknya, Gubernur Daerah Khusus Jakarta Pramono Anung berdalih, pihaknya tidak akan memutihkan PKB di wilayahnya karena para pemilik mobil dan sepeda motor yang menunggak pajak itu ternyata orang-orang berpunya. Mereka punya dua-tiga atau lebih sepeda motor/mobil yang sebagian atau seluruhnya menunggak pajak.
Dengan dalih telah menikmati fasilitas infrastruktur jalan, kata Mas Pram panggilan akrabnya, para penunggak pajak kendaraan bermotor itu justru akan terus dikejar untuk membayar. Jika tetap tak mau membayar, mereka akan dipersulit. Misalnya ditandai nomor polisi kendaraan mereka supaya barcode-nya tidak bisa digunakan untuk mengisi bahan bakar minyak di SPBU-SPBU.
Pun, mobil/sepeda motor yang pajaknya menunggak itu tidak akan bisa parkir di lokasi-lokasi parkir resmi. Pokoknya, penunggak pajak kendaraan bermotor akan dipersulit hidupnya.
Alhasil, kesan yang muncul dari kebijakan kontroversial itu adalah Mas Pram sangat kejam. Betapa “sadis”-nya Mas Pram.
Ternyata, bekas Wakil Ketua DPR itu mindset atau pola pikirnya sama dengan birokrat pada umumnya: kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?
Agaknya Mas Pram alpa bahwa Indonesia, termasuk Jakarta, baru saja lepas dari belenggu pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020.
Agaknya bekas Sekretaris Kabinet itu juga alpa bahwa dampak dari pandemi Covid-19 itu masih dirasakan rakyat Jakarta, dan juga seluruh Indonesia hingga hari ini.
Semasa Covid-19 merajalela, banyak masyarakat kelas menengah ke atas jatuh bangkrut sehingga lompat ke kategori kelas menengah ke bawah, bahkan fakir miskin. Tak sedikit yang menjadi “kere” atau gembel.
Jangankan membayar PKB, sekadar bisa makan untuk bertahan hidup saja sudah susah. Banyak kelas menengah ke atas yang kemudian putus asa dan menempuh jalan pintas dengan bunuh diri, meskipun sebenarnya hal ini tak boleh terjadi.
Lalu, apa salahnya pemerintah bertindak baik kepada rakyatnya dengan melakukan pemutihan PKB, misalnya?
Sebaliknya, mengapa pemerintah justru cenderung lebih baik kepada para konglomerat? Buktinya, banyak utang dan pajak mereka yang diberikan pengampunan. Termasuk para konglomerat hitam.
Pendapatan PKB Positif
Dikutip dari sebuah sumber, pendapatan PKB di Jakarta tahun 2024 mencapai Rp9,65 triliun. Jumlah ini merupakan 104,68% dari target yang ditetapkan, dan menunjukkan pencapaian positif.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait pendapatan PKB di Jakarta tahun 2024:
Realisasi Pajak Daerah:
Total realisasi pajak daerah di Jakarta tahun 2024 mencapai Rp44,46 triliun.
Kontribusi Terbesar:
PKB merupakan salah satu kontributor terbesar dalam realisasi pajak daerah tersebut.
Target Tercapai:
Pendapatan PKB di Jakarta berhasil melampaui target yang telah ditetapkan, dengan pencapaian 104,68%.
Pajak Lainnya:
Selain PKB, kontributor lain yang signifikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan nilai Rp9,96 triliun.
Realisasi 2023:
Realisasi pajak daerah 2024 lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pajak daerah 2023.
Dengan demikian, pendapatan PKB di Jakarta pada tahun 2024 memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah dan menunjukkan kinerja positif dalam pencapaian target perpajakan.
Jika demikian, lantas apa yang membuat Mas Pram ngotot tak mau melakukan pemutihan PKB? Toh pendapatan PKB tak ada masalah, bahkan pencapaiannya positif.
Mas Pram tak bisa “gebyah uyah” atau pukul rata. Mestinya dilihat “case by case” (kasus per kasus). Mereka yang menunggak pajak dilihat dulu profil pendapatannya dari rekening koran selama periode mereka menunggak PKB.
Jika pendapatan stabil, mereka jangan diberikan pemutihan. Sebaliknya jika pendapatan anjlok, tentunya mereka layak diberikan pemutihan. Tidak hanya penghapusan denda, tapi juga penghapusan tunggakan PKB-nya. Yang harus dibayarkan cuma pajak tahun berjalan saja. Seperti di Jabar.
Kecuali kalau memang Mas Pram yang bekas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, yang selalu mengklaim sebagai partainya “wong cilik”, mau benar-benar kejam atau sadis terhadap rakyatnya yang memang sedang susah. Itulah!