Oleh: Damai Hari Lubis
Adalah sebuah ironi ketika bangsa yang mengklaim demokrasi sebagai fondasi kehidupannya justru menyaksikan salah satu tiang penyangganya roboh pelan-pelan: Pers. Bukan karena diruntuhkan oleh kekuatan brutal, bukan pula oleh revolusi berdarah. Tapi oleh sesuatu yang lebih subtil dan mematikan: manisan kekuasaan dan ketakutan yang dibungkus sukarela.
Kini, pers bukan lagi anjing penjaga (watchdog) yang menggonggong keras saat kekuasaan menyimpang. Ia berubah menjadi hewan peliharaan jinak yang disuapi setiap hari, cukup kenyang untuk tak menggonggong. Ruang redaksi yang dulunya bergema dengan suara debat tajam kini sunyi oleh suara klik mouse pada email rilis resmi pemerintah.
Tak banyak lagi yang memegang pena seperti senjata. Yang tersisa hanya segelintir, para jurnalis idealis yang menulis seperti berperang, meski tahu setiap hurufnya bisa berujung kriminalisasi, stigmatisasi, bahkan dipecat secara halus dari ruang redaksi. Sisanya? Mereka memilih diam. Bukan karena tak tahu, tapi karena takut. Takut pada tekanan pemilik media, takut kehilangan iklan, takut berhadapan dengan pasal-pasal karet yang ditarik oleh aparat seenaknya.
Sayangnya, pers kita telah “ditutup dengan manis.” Penuh seremoni, pengakuan simbolik, bahkan penghargaan-penghargaan prestisius dari istana. Tetapi di balik senyum manis itu, ada pemiskinan fungsi. Jurnalisme investigasi yang menelanjangi skandal negara kini seperti artefak langka. Redaksi lebih sibuk menjaring klik dan trending topic ketimbang mengangkat ketidakadilan struktural. Wartawan jadi pengutip narasumber, bukan pencari kebenaran.
Ini bukan hanya soal kebebasan pers yang terancam. Ini tentang masyarakat yang kehilangan hak untuk tahu, dan penguasa yang tak lagi merasa harus diawasi. Karena saat pena menjadi tumpul, kekuasaan menjadi kebal, dan demokrasi menjelma dekorasi.
Dan ya, yang tidak mendapat pemanis apa-apa—mereka yang tetap mengangkat pena tajamnya—terpaksa bertahan di pinggir: dicibir, disensor, atau dilupakan. Tapi justru merekalah yang menjaga marwah profesi ini tetap hidup. Di tengah ruang yang makin sempit, mereka terus menulis, karena sadar: dalam setiap kata yang jujur, ada perlawanan.
Apakah kita akan terus merayakan demokrasi dengan bibir penuh manisan dan mata tertutup? Atau sudah saatnya kita menyeka gula-gula itu dan bertanya: siapa yang sebenarnya mengendalikan cerita?