Oleh : Ir Prihandoyo Kuswanto [ Ketua Rumah Pancasila ]
Mengapa saya mengkritisi slogan “Saya Panca Sila “ yang di jadikan Jargon oleh Bpk Jokowi Presiden kita , sebab kata saya itu menunjuk Individu sedang Panca Sila justru antitesis dari dari Individualisme sebab sumber dari Liberalisme , Kapitalisme , Kolonialisme , Imperalisme , penjajahan adalah Individualisme .
Saya memcoba meungga tulisan bapak Sayidiman Mangku Hadiprojo agar kita bisa mengerti mengapa pikiran Panca Sila dan Pikiran barat itu berbeda . Jargon Saya Panca Sila tidak sesederhana jargon tetapi telah terjadi mengindividualismekan Panca Sila .setelah saya kaji UUD amandemen Jargon yang diangkat Saya Panca Sila rupa nya sejalan dengan UUD amandemen pasal 28 Perseorangan , Stiap orang , padahal ini jelas bertentangan dengan Panca Sila ,Amandemen UUD 1945 telah melakukan pemaksaan dan pemerkosaan terhadap pikiran Panca Sila , sehingga kita kehilangan Jati diri bangsa Indonesia .
Perbedaan Pikiran Barat Dan Pancasila
Satu Uraian Singkat
Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
Pendahuluan
Waktu ini nampak meningkat keinginan masyarakat untuk menegakkan kembali Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara RI. Hal itu sangat menggembirakan mengingat kuatnya usaha pihak-pihak tertentu di dalam maupun luar negeri, yang ingin menghilangkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian, masih menjadi pertanyaan apakah semua orang yang ingin Pancasila tegak kembali, mengetahui inti pikiran Pancasila dan perbedaannya dengan cara berpikir Barat.
Tulisan ini bermaksud menguraikan secara singkat hal-hal itu.
Pikiran Barat
Sejak terjadi Renaissance di Eropa pada abad ke 14, pikiran Barat sangat berpangkal pada peran Manusia sebagai Individu dalam kehidupan. Dunia Barat memandang Individu sebagai mahluk yang lahir dengan kebebasan penuh dan sama satu dengan yang lain (Men are created Free and Equal). Kebebasan itu memberikan kepadanya hak untuk mencapai segala hal yang diinginkan. Ia hidup terpisah satu sama lain, masing-masing dilengkapi dengan kekuasaan penuh, sehingga ia segan berkumpul dengan individu lain. Thomas Hobbes (1588-1679) berkata bahwa kondisi manusia ini adalah kondisi perang antara setiap individu dengan individu lainnya (bellum omnium contra omnes). Karena dengan begitu sekuriti setiap individu selalu terancam, maka Ratio individu mendorongnya untuk memperoleh perdamaian dengan hidup bersama individu lain. Jadi dalam pikiran Barat hidup bersama antara individu adalah karena dorongan ratio guna mengamankan sekuritinya melalui perdamaian. Itu berarti bahwa hubungan antara individu adalah selalu dalam bayangan Konflik. Inilah yang dinamakan Individualisme dan Liberalisme.
Pikiran Pancasila
Ketika Bung Karno pada 1 Juni 1945 menguraikan pandangannya yang beliau namakan Pancasila depan Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beliau menyatakan bahwa Pancasila beliau gali dari kehidupan bangsa Indonesia yang sudah berabad lamanya. Beliau mengatakan bahwa Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia. Dalam Pancasila kehidupan digambarkan sebagai Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Tidak ada Manusia atau Individu yang hidup sendiri melainkan senantiasa dalam hubungan dengan individu lain dalam satu ikatan bersama. Individu berada dalam Keluarga. Meskipun berada dalam satu keluarga tidak ada dua individu yang benar-benar sama , jadi selalu berbeda. Karena perbedaan itu individu hidup mengejar yang terbaik. Akan tetapi perbedaan individu itu selalu berada dalam hubungan Keluarga, sehingga kehidupan individu selalu disesuaikan dengan kepentingan Keluarga (Ora sanak ora kadang, yen mati melu kelangan). Sebaliknya karena individu adalah bagian permanent dari Keluarga, maka Keluarga mengusahakan yang terbaik bagi semua individu yang ada di dalamnya. Maka dasar pikiran Pancasila adalah Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan yang berarti Kekeluargaan dan Kebersamaan. Hubungan antara individu dengan individu lain dan dengan Keluarga adalah selalu mengusahakan Harmoni atau Keselarasan. Bentuk dinamiknya adalah Gotong Royong. Maka dalam memandang kehidupan pikiran Pancasila jelas sekali berbeda dengan pikiran Barat, yaitu Harmoni berbeda dengan Konflik, Individu dalam Kebersamaan berbeda dengan Individu bebas, sama dan dengan kekuasaan penuh.
Pengaruh terhadap pandangan tentang Negara
Berdasarkan pikiran Barat itu maka Barat melihat Negara sebagai sumber Kekuasaan. hal mana antara lain ditegaskan Nicolo Machiavelli (1469-1527) dan masih berlaku hingga sekarang. Ia melihat Negara sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan orde (ketertiban) dalam kehidupan yang diisi individu-individu yang bebas dan penuh kekuasaan. Sebab dalam negara itu terdapat supreme power atau sovereignty yang dapat menciptakan orde dalam kehidupan. Yang dimaksudkan dengan sovereignty adalah the absolute and perpetual power of commanding in a state (Jean Bodin, 1530-1596) Thomas Hobbes dan John Locke (1632-1704) melihat bahwa sumber kekuasaan dari supreme power itu adalah kekuasaan yang ada pada individu. Sebab individu melalui rationya menyadari bahwa harus ada ketertiban dan untuk itu diperlukan kekuasaan. John Locke kemudian mencari jalan bagi penggunaan kekuasaan itu. Ia tidak memberikannya kepada seorang, seperti digambarkan Machiavelli, melainkan melalui pembagian kekuasaan di tiga tangan yang mengadakan keseimbangan melalui checks and balance. Inilah yang dinamakan Trias Politica yang sejak tahun 1688 digunakan dalam mengatur kekuasaan negara di Barat.
Pancasila berpangkal pada penglihatan umat manusia sebagai Kesatuan dengan manusia dilahirkan hidup bersama. Sebab itu buat Pancasila negara bukan organisasi kekuasaan, melainkan organisasi untuk mewujudkan Kebahagiaan Manusia (Sila ke 5 : Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia ). Tujuan itu dicapai dengan cara Musyawarah Mufakat (Sila ke 4) dengan selalu memperhatikan Kemanusiaan Beradab (Sila ke 2) dan menjamin Persatuan Indonesia (Sila ke 3) dengan dilandasi kesadaran akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Sila ke 1). Karena 200 juta bangsa Indonesia tidak dapat melakukan musyawarah, maka dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Penjelmaan Rakyat. Jadi MPR bukan padanannya Parlemen dari system Barat. Karena MPR terdiri dari sekian banyak orang, maka ia tidak dapat menjalankan kewajiban mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan umum. Sebab itu MPR mengangkat Presiden Republik Indonesia sebagai Mandataris MPR. Untuk menjalankan kewajibannya MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dijalankan Presiden RI. Untuk menjalankan pekerjaannya Presiden RI didampingi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama menetapkan undang-undang, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden RI, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengawasi kebendaan dan keuangan negara, Mahkamah Agung (MA) untuk menyelenggarakan pengadilan. Selain itu Presiden RI dibantu Pemerintah RI terdiri para Menteri untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Jadi Negara RI berdasarkan Pancasila tidak sama dan bukan satu Negara berdasarkan pikiran Barat. Negara RI tidak menjalankan Trias Politica , melainkan menjalankan segala ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebelum di-amandemen. Segala issue yang dikemukakan pihak Barat seperti Hak Azasi Manusia (HAM), Demokrasi,dll harus pula dilihat dari kacamata dan pikiran Pancasila.
Pertanyaan mendasar adalah : Mengapa Kita Mau Melaksanakan Pancasila ?
Orang-orang yang menganut pikiran Barat berpendapat bahwa jauh lebih bermanfaat dan praktis untuk menggunakan cara berpikir Barat dalam membangun kehidupan di Indonesia. Barat sudah membuktikan pencapaian kesejahteraan dan memberikan model jelas apa yang harus kita lakukan. Mengapa harus melaksanakan Pancasila, kata mereka, padahal belum ada buktinya untuk dijadikan model. Akan terlalu lama dan penuh ujian sebelum kita tiba pada pelaksanaan Pancasila, kata mereka, sedangkan Rakyat sudah menunggu kesejahteraan hidup yang mereka dambakan.
Jawabannya adalah :
- Belum tentu jalan terpendek adalah jalan terbaik. Apalagi kalau kita perhatikan pendapat dan pikiran orang-orang terkemuka Barat, termasuk kaum filosof seperti Oswald Spengler (Der Untergang des Abendlandes), P.A. Sorokin (The Crisis of our Age), J. Huizinga dan Jan Romein dalam berbagai buku mereka, Ortega Y Gasset , dan lainnya. Para pemikir Barat sendiri sangsi akan masa depan dunia Barat kalau tidak melakukan perubahan mendasar. Jadi apakah kita hanya mau mengekor kepada perkembangan yang menuju ke keruntuhannya ? Tentu tidak , kita harus membangun bangsa untuk sepanjang masa sampai dunia kiamat.
- Sudah dua kali terbukti bahwa melaksanakan cara berpikir Barat menyebabkan persoalan besar bagi kita, yaitu dalam masa antara 1950 hingga 1959, dan sekarang setelah Reformasi tahun 1998 yang bahkan dapat memecah NKRI yang keutuhannya hanya dapat dijamin dengan Pancasila untuk menghadapi berbagai perbedaan, seperti agama. Yang pertama dapat kita akhiri setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Kembali pada UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Sedangkan yang sekarang belum dapat kita akhiri dan semoga tidak akan lama lagi terjadi koreksi terhadap Reformasi. Yang kita perlukan adalah Reformasi yang menjadikan Pancasila Kenyataan di Indonesia.
- Melihat sejarah umat manusia, baik dalam sejarah bangsa-bangsa maupun sejarah tokoh-tokoh dunia, maka terbukti bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin tercapai kalau kehidupan dilakukan berdasarkan Jati Diri Bangsa. Kalau tidak didasarkan Jati Diri maka kalaupun terjadi kemajuan, maka itu tidak menimbulkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin yang hakiki bagi rakyat. Maka karena Pancasila adalah Jati Diri Bangsa Indonesia , kita harus membangun kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Hanya itu yang akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin rakyat Indonesia.
Bacaan : Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo , Kumpulan Karangan , PT Pembangunan Jakarta, 1964