Oleh: Radhar Tribaskoro
Bukan sekali ini saja polisi menghalangi kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat, dengan alasan ada ancaman pihak kontra. Masih ingat beberapa tahun yang lalu aktivis-aktivis HAM berteriak murka ketika pertemuan-pertemuan mereka dihadang dan dibubarkan oleh aktivis-aktivis FPI? Pada ketika itu pun polisi memenuhi keinginan para penghadang itu, dengan alasan “situasi tidak kondusif sebab ada massa yang menolak”.
Polisi lebih lanjut mengatakan bahwa tindakan mereka tersebut sah, “Sebab polisi memiliki diskresi.” Diskresi adalah kewenangan melakukan tindakan tertentu secara subjektif.
Padahal UUD 1945 pasal 28 dan 28a s/d 28j telah begitu merinci hak-hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh (aparat) negara. Apakah dengan tekanan segelintir massa saja Kepolisian Negara Republik Indonesia boleh menyerahkan kewajibannya untuk mengawal nilai-nilai Pancasila?
Bila benar demikian maka siapapun sekarang boleh mengincar dan menghadang lawan-lawan politiknya. Anda cukup berwajah sangar dan siap melakukan kekerasan agar polisi patah semangatnya dan memenuhi keinginan anda untuk membubarkan kegiatan kelompok masyarakat yang anda benci.
Apakah ini berarti polisi telah dikalahkan oleh premanisme?
Tentu tidak ada yang percaya kepada kebenaran pertanyaan di atas. Mana mungkin polisi takluk kepada segelintir preman? Jauh lebih masuk akal melihat preman-preman tersebut (oknum FPI atau Jokower) sebagai boneka yang dimainkan untuk memberi justifikasi bagi polisi untuk melakukan tindak pembubaran itu sendiri.
Permainan alibi itu adalah prosedur standar bagi aparat untuk menyembunyikan keinginan sesungguhnya. Dalam kasus Bunda Neno Warisman (BNW) di Pekan Baru polisi menggunakan permainan alibi itu lagi. Kata polisi ada masyarakat yang menolak BNW. Ternyata massa yang dibilang menolak itu cuma sedikit jumlahnya, jauh lebih banyak yang mau menyambut Neno dengan tangan terbuka. Tetapi polisi bergeming, bagi mereka yang penting BNW batal deklarasi di Pekan Baru. BNW harus dipulangkan ke Jakarta.
Apa kepentingan polisi berkeras memulangkan BNW? Apakah polisi punya kepentingan politik, misalnya anti-Islam sebagaimana dituduhkan oleh gerakan #2019gantipresiden?
Saya tidak yakin bahwa tuduhan di atas benar sebab polisi beberapa tahun lalu justru melakukan tindakan yang persis sama, namun berada dipihak gerakan Islam (FPI). Apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut pendapat saya polisi bisa jadi tidak memiliki kepentingan politik. Walau begitu tidak tertutup kemungkinan ia menyediakan dirinya untuk menjadi boneka dari kepentingan politik tertentu. Maka tidak heran bila dulu polisi menjadi boneka kepentingan A, sekarang menjadi boneka kepentingan musuhnya A. Semua tergantung siapa yang menjadi tuan penguasa.
Keadaan tersebut tentu bukan suatu hal yang membanggakan bagi Polri. Karena seharusnya Polri adalah aparat negara bukan aparat pemerintah. Atasan Kapolri adalah presiden sebagai kepala negara, oleh karena itu kapolri bukan anggota kabinet yang dipimpin presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dengan kata lain Polri mestinya independen terhadap kekuatan-kekuatan politik yang ada, termasuk terhadap presiden. Polisi bahkan memiliki kekuatan untuk menyelidik dan menangkap presiden bila diperlukan.
Kenyataan bahwa banyak orang sulit mempercayai independensi polri saat ini mengungkap sisi lain yaitu tidak bekerjanya mekanisme feedback dalam organisasi kepolisian. Kegagalan mekanisme feedback itu terkait dengan struktur organisasi polri yang sangat hirarkis dan sentralistik. Di seluruh dunia struktur organisasi kepolisian pada umumnya relatif horizontal dan terdesentralisasi. Di dalam gap itu mungkin bisa kita temukan akar masalah tidak independennya institusi polri.–