Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP/Kebijakan Umum Hukum dan Politik
(Hanya Vox Populi Vox Dei yang Mampu Menghentikan PIK 2?)
Ada dua sudut pandang menarik yang perlu dicermati terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Pertama, pandangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah lembaga agama yang cukup ternama dan memiliki bobot tinggi di tanah air. Kedua, pandangan dari KH. Aqil Siraj, seorang tokoh ulama yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT KAI, sebuah perusahaan BUMN.
Pandangan Pertama: Fatwa MUI Pusat
Dalam Taujihad Mukernas IV MUI yang digelar di Jakarta pada 17-19 Desember 2024, MUI Pusat menyerukan agar pemerintah mencabut status PSN PIK 2. Alasannya, proyek tersebut dianggap lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Pernyataan ini menjadi suara tegas dari MUI yang berlandaskan pada keprihatinan terhadap dampak sosial dan lingkungan dari proyek tersebut.
Pandangan Kedua: Dukungan KH. Aqil Siraj
Di sisi lain, pada 6 Januari 2025, KH. Aqil Siraj, seorang tokoh ulama dan mantan Ketua Umum PBNU, menyampaikan dukungannya terhadap PSN PIK 2. Dalam pernyataannya di Kota Tangerang, Aqil menyebutkan bahwa proyek ini bertujuan mulia, yaitu memanfaatkan tanah terlantar demi kemaslahatan masyarakat. Pernyataan ini menunjukkan keberpihakannya terhadap pembangunan yang berbasis pada optimalisasi aset negara.
Namun, dua hari setelah pernyataan Aqil tersebut, MUI Pusat tampak melunak. Pada 8 Januari 2025, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Masduki Baidlowi, menyampaikan bahwa proyek PIK 2 perlu dihentikan sementara untuk dilakukan proses tabayyun (klarifikasi). Hal ini dilakukan karena adanya aduan masyarakat yang merasa keberatan terhadap proyek tersebut.
Dinamika yang Kompleks
Pelunakan sikap MUI ini menunjukkan adanya dinamika yang rumit di balik pro dan kontra terhadap PSN PIK 2. Campur tangan berbagai pihak, baik dari kalangan tokoh agama, pemerintah, maupun pelaku usaha, membuat persoalan ini semakin kompleks. Dalam pandangan hukum, persoalan ini tidak hanya berkutat pada aspek moral atau agama, tetapi juga melibatkan dugaan pelanggaran administrasi dan praktik bisnis yang kurang beritikad baik.
KH. Aqil Siraj: Tokoh dengan Jaringan Luas
KH. Aqil Siraj, dengan berbagai peran yang dimilikinya—sebagai ulama, komisaris utama BUMN, dan tokoh ormas besar seperti PBNU—memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan. Jaringannya yang luas di kalangan penguasa (umara) dan konglomerat menjadi faktor yang membuat pendapatnya sulit untuk dikesampingkan.
Sebagai sosok reformis dalam tubuh PBNU, Aqil menunjukkan kemampuan untuk menjinakkan berbagai dinamika yang kompleks. Kehadirannya mencerminkan karakteristik tokoh “akhir zaman,” sebagaimana disinggung dalam beberapa riwayat suci, yang mampu berdialog dengan lintas dimensi keagamaan, sosial, dan budaya.
Kesimpulan
Proyek PIK 2, dengan segala kontroversinya, bukan hanya sekadar pembangunan infrastruktur. Ia menjadi cerminan tarik menarik antara kepentingan agama, politik, dan ekonomi. Jika hanya mengandalkan perjuangan masyarakat dengan kekuatan yang terbatas, melawan dukungan dari figur sekuat Aqil Siraj tentu menjadi tantangan besar. Dalam konteks ini, hanya “vox populi vox dei”—suara rakyat yang bersatu—yang mungkin mampu menghentikan laju proyek PSN PIK 2.
Catatan Redaksi :
Pendek kata, Aqil Siraj adalah prototipe ulama “akhir zaman” sebagaimana yang disampaikan dalam riwayat hadist. Ia adalah figur yang memanfaatkan pengaruh dan koneksinya untuk mengamankan kepentingan duniawi, jauh dari nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang seharusnya dipegang teguh oleh seorang ulama. Dalam riwayat suci, ulama akhir zaman digambarkan sebagai mereka yang condong pada penguasa, memperdagangkan fatwa demi keuntungan, dan meninggalkan keberpihakan pada rakyat kecil. Maka, dalam konteks ini, Aqil Siraj seolah mewujudkan sosok tersebut: seorang ulama yang berdiri kokoh di tengah kepentingan kuasa dan kapital, namun menjauh dari hakikat membela yang benar.