Dalam sejarah peradaban, peran pendeta atau ulama sering kali menjadi pusat perhatian, terutama dalam hubungannya dengan penguasa. Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom revolusioner, pernah berpendapat bahwa agama sering kali menjadi alat penguasa untuk mempertahankan status quo. Ia bahkan menyebut agama sebagai “opium bagi rakyat,” suatu ungkapan yang menyoroti peran agama dalam menenangkan massa dan meredam tuntutan perubahan sosial. Pendapat ini menjadi kritik keras terhadap institusi agama yang dianggap sering kali menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Hubungan Ulama dan Penguasa: Sebuah Keniscayaan atau Strategi?
Kasus dukungan KH. Aqil Siraj terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi refleksi yang relevan dalam diskusi ini. Sebagai seorang ulama yang juga menjabat sebagai komisaris utama BUMN, Aqil Siraj memberikan dukungan pada proyek yang sebelumnya mendapat kritik keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dukungan ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai keberpihakan pada kepentingan penguasa dan pengusaha, sementara sisi lain menyebutnya sebagai bentuk pragmatisme yang berbasis pada tujuan mulia, yakni optimalisasi tanah terlantar.
Jika dirunut dalam kerangka pemikiran Marx, posisi Aqil Siraj dapat dilihat sebagai contoh nyata bagaimana ulama sering kali menjadi “pendukung” penguasa. Marx akan melihat ini sebagai bentuk kooptasi kekuasaan terhadap institusi agama, di mana agama berperan untuk membenarkan tindakan-tindakan penguasa, terlepas dari dampaknya terhadap masyarakat luas. Dukungan terhadap PIK 2, dalam hal ini, dianggap lebih memihak pada narasi pembangunan ketimbang mendengarkan suara masyarakat yang merasa dirugikan.
Revolusi, Agama, dan Transformasi Radikal
Pendapat Marx tentang agama sebagai pendukung kekuasaan mendapat momentum di era revolusi sosial seperti yang terjadi di Rusia di bawah Lenin dan di Tiongkok di bawah Mao Zedong. Keduanya mengambil sikap yang lebih ekstrem, yaitu menolak agama secara keseluruhan. Lenin dan Mao menganggap agama sebagai hambatan dalam menciptakan masyarakat yang setara, sehingga mereka berupaya untuk melemahkan peran agama dalam kehidupan masyarakat. Di tangan mereka, kritik Marx terhadap agama berkembang menjadi kebijakan anti-agama yang radikal.
Namun, dalam konteks demokrasi modern, pendekatan seperti Lenin dan Mao mungkin tidak relevan. Dunia saat ini lebih memerlukan dialog yang sehat antara agama dan negara, di mana agama berfungsi sebagai penjaga moralitas kekuasaan, bukan sebagai pendukung atau pelengkapnya. Ketika ulama seperti Aqil Siraj menunjukkan keberpihakan kepada penguasa, masyarakat perlu bertanya: apakah ini merupakan bagian dari tugas moral agama, atau sekadar kompromi politik yang menguntungkan pihak tertentu?
Kritik dan Solusi
Ketika agama dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, maka hilanglah kredibilitasnya sebagai suara moral yang bebas dari kepentingan. Ulama yang memegang posisi strategis di pemerintahan atau perusahaan milik negara perlu berhati-hati agar tidak kehilangan kepercayaan publik. Dalam kasus PSN PIK 2, penting bagi tokoh seperti Aqil Siraj untuk menjelaskan posisi dan alasannya secara transparan kepada masyarakat. Tanpa itu, dukungannya terhadap proyek ini hanya akan memperkuat persepsi bahwa ulama telah menjadi bagian dari oligarki kekuasaan, sebagaimana dikritik oleh Marx.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu bersikap kritis. Jika ulama terkesan terlalu dekat dengan penguasa, maka suara rakyat harus lebih lantang untuk mengimbangi narasi yang ada. Vox populi vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan—harus menjadi panduan dalam setiap pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kesimpulan
Karl Marx menawarkan perspektif yang relevan untuk melihat hubungan antara ulama dan penguasa. Meski tidak semua ulama tunduk pada penguasa, banyak contoh sejarah yang menunjukkan bagaimana agama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Namun, solusi yang ditawarkan oleh Marx, Lenin, atau Mao tidak selalu relevan dalam konteks saat ini. Dunia modern membutuhkan ulama yang independen, yang tidak hanya menjadi penyeimbang kekuasaan tetapi juga penyuara moral yang berani mengkritik penguasa demi kepentingan rakyat.
Dengan demikian, tantangan bagi tokoh seperti Aqil Siraj bukan hanya membangun narasi yang mendukung pembangunan, tetapi juga menjaga kepercayaan publik agar agama tetap menjadi kekuatan moral yang murni, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.