Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Sebelum membahas apakah Joko Widodo pantas diberhentikan dari jabatannya sebagai seorang pemimpin bangsa ini, maka diperlukan pemahaman terhadap teori makna kelayakan dari citra atau jatidiri seorang pemimpin disandingkan dengan pemikiran dari para orang bijak, seperti teori dari para filsuf.
Menurut Aristoteles, terdapat beberapa landasan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, prinsip keadilan menjadi pondasi bagi stabilitas masyarakat dan keberlanjutan pemerintahan. Dalam substansial kepemimpinan, terlihat bahwa era sebelum Jokowi ternyata lebih baik dari masa kepemimpinan Jokowi.
Kemudian, faktor esensial lainnya adalah kemampuan memimpin dan berkomunikasi. Terhadap faktor essensial ini, Jokowi terlihat kurang mampu. Dia tidak mampu memberikan kualitas kepemimpinan kepada semua lapisan masyarakat, hanya kepada kalangan tertentu, yakni “wong cilik”. Terbukti bahwa dia tidak dapat memotivasi bawahan, seperti kabinetnya, untuk berkarya secara profesional dan proporsional, terdapat banyak kebijakan yang tumpang tindih.
Kesederhanaan dan berkepribadian baik sebenarnya merupakan hal yang diharapkan dari seorang pemimpin. Namun, dalam realitasnya, Jokowi hanya terlihat sederhana dalam penampilan kostumnya, namun tidak memiliki kepribadian yang baik bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin diharapkan bijaksana dan mampu mengendalikan hawa nafsu, namun Jokowi terlihat bertolak belakang dengan memiliki hasrat politik kedinastian.
Kemampuan berpikir etis dan moralitas juga menjadi aspek penting dalam kepemimpinan. Namun, nyatanya Jokowi tidak mampu berpikir secara etis dan tidak memiliki moralitas yang tinggi. Banyak keputusan yang diambilnya melalui kebijakan yang terkesan sembarangan dan seringkali terdapat kecenderungan untuk berdusta.
Menurut Ibnu Khaldun, citra ideal seorang pemimpin adalah orang yang memandang kekuasaannya sebagai amanah dari Allah, sehingga penggunaan kekuasaannya dianggap sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Immanuel Kant juga mengemukakan bahwa seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki moralitas yang tulus dan bijaksana, serta tetap berpegang pada prinsip ketidakberpihakan.
Namun, dalam konteks kepemimpinan Jokowi, terdapat ketidak-sesuaian dengan pandangan para ahli filsafat tersebut.
Jokowi terbukti jauh dari citra pemimpin yang bermoral dan bijaksana. Data empiris menunjukkan bahwa Jokowi telah melakukan tindakan dan perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan kebijakan yang inkonstitusional.
Berdasarkan teori kepemimpinan dan politik kenegaraan dari para ahli filsafat seperti Aristoteles, Ibnu Khaldun, dan Kant, tidaklah salah jika pemimpin negara yang melakukan tindakan curang, mengabaikan sistem hukum, serta seringkali berbohong kepada rakyatnya, dianggap tidak layak dipertahankan dalam jabatannya.
Dalam hal ini, Jokowi dinilai tidak layak untuk dipertahankan sebagai pemimpin, dan upaya penolakan terhadapnya hanya mungkin dilakukan oleh sekelompok kecil yang berkepentingan atau oleh individu-individu yang merasa diuntungkan, seperti kelompok oligarki atau individu yang terbiasa dengan perilaku amoral.
Kenyataannya, sikap dan perilaku Jokowi telah banyak menimbulkan kontroversi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik. Oleh karena itu, berdasarkan evaluasi dari perspektif para ahli filsafat tersebut, tidak dapat disangkal bahwa Jokowi tidak layak dipertahankan dalam jabatannya sebagai pemimpin negara.
Tuntutan untuk menurunkan seorang pemimpin yang dianggap tidak mampu memenuhi harapan publik adalah sebuah tindakan yang wajar dan sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal ini didasarkan bukan hanya pada alasan apriori semata, tetapi juga atas data dan fakta empiris mengenai janji-janji politik yang tidak terpenuhi dan kinerja yang dianggap sebagai kegagalan atau prestasi rendah.
Sebagai contoh, beberapa janji politik yang pernah diucapkan oleh Jokowi ternyata tidak kunjung terealisasi, seperti produksi mobil Esemka, buy back Indosat, prediksi ekonomi yang meroket, dan janji pemberantasan korupsi. Ketidakmampuan untuk memenuhi janji-janji tersebut menjadi alasan bagi masyarakat untuk menuntut penurunan Jokowi dari jabatannya, tanpa perlu menunggu janji-janji yang belum terealisasi tersebut menjadi kenyataan.
Prinsip dasar sebuah konsep organisasi negara menegaskan bahwa seorang pemimpin haruslah menjadi teladan yang sesuai dengan konstitusi dan memiliki kapasitas untuk memimpin dengan baik.
Oleh karena itu, sudah seharusnya Jokowi digantikan oleh Wapres KH. Maruf Amin hingga berakhirnya masa jabatan Capres-Wapres pada Oktober 2024, dan kemudian diserahkan kepada Presiden-Wapres terpilih hasil Pemilu Pilpres 14 Februari 2024. Ini adalah langkah yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan tuntutan keadilan publik.
Dalam konteks pelengseran Jokowi dan peran Wapres sebagai penggantinya, melihat disfungsi yang terjadi di parlemen, dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat dan tokoh-tokoh bangsa untuk menyusun sebuah konsep konsensus nasional melalui metode musyawarah. Konsep ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mendesak pemberhentian Joko Widodo dari jabatan Presiden RI tanpa menunggu proses serah terima jabatan.
Musyawarah, sebagai prinsip yang tertuang dalam Pancasila, dianggap sebagai hukum yang tertinggi dalam negara ini. Ini berarti bahwa keputusan yang dihasilkan dari musyawarah memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada keputusan lain yang telah berlaku. Dengan demikian, proses musyawarah dapat menjadi sarana untuk mencapai kesepakatan dalam hal pemberhentian seorang pemimpin, meskipun keputusan hukum lainnya sudah berkekuatan tetap.
Hal ini penting untuk menjaga integritas dan keadilan hukum serta memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah untuk kepentingan terbaik bagi seluruh bangsa. Dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan konstitusi dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai negara, seperti keadilan, moralitas, dan efektivitas kepemimpinan, pelengseran Jokowi dapat dilakukan dengan memperoleh konsensus nasional yang kuat dan berlandaskan pada prinsip hukum yang tinggi.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa kegagalan seorang pemimpin harus dievaluasi secara objektif dan berdasarkan faktor-faktor yang relevan, seperti kinerja ekonomi, politik, dan moralitas. Pelengseran Jokowi tidak boleh dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi, tetapi sebagai langkah yang diambil untuk melindungi kepentingan rakyat dan memastikan keadilan serta kepastian hukum.
Dengan demikian, melalui proses musyawarah nasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum yang berlaku, dapat dihasilkan keputusan yang benar dan adil mengenai masa depan kepemimpinan negara ini.