FusilatNews – Dalam dunia komunikasi politik, gestur adalah pesan. Dan dalam negara yang terlalu banyak bicara namun miskin makna, diam justru bisa menjadi bunyi yang paling nyaring. Maka ketika Hasan Nasbi—pendiri lembaga riset Cyrus Network yang belakangan menjadi Kepala Komunikasi Kepresidenan—menyatakan mundur, ada gema yang lebih keras dari sekadar penyerahan surat.
“Pada hari ini, 21 April 2025, sepertinya saat itu sudah tiba,” ujar Hasan dalam video yang diunggah kanal Total Politik. Suaranya tenang, wajahnya datar, seperti seseorang yang telah lama bergulat dengan keyakinan sebelum memutuskan melepaskan semua atribut kekuasaan.
Hasan mengaku surat pengunduran dirinya telah dikirimkan ke dua orang penting: Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya. Dua kawan baiknya, katanya. Kata “kawan” dalam kalimat itu tidak terdengar sekadar basa-basi birokratik. Ada muatan emosional yang samar tapi kuat—seperti perpisahan antar para veteran setelah perang yang melelahkan.
Ketika dikonfirmasi, Hasan tidak berbelit. “Benar surat (mundur) saya sampaikan pada 21 April,” ujarnya singkat. Kalimat itu tak membuka pintu penjelasan lebih jauh, namun justru menambah lebar ruang tafsir: ada apa sebenarnya?
Hasan Nasbi bukan figur sembarangan dalam lingkar kekuasaan Jokowi. Ia bukan hanya komunikator. Ia adalah penyambung lidah kekuasaan dalam bentuk narasi. Latar belakangnya bukan politisi, melainkan analis dan perancang opini publik. Dikenal publik sejak mendirikan Cyrus Network—lembaga survei dan konsultan politik—Hasan kerap tampil sebagai komentator politik yang cerdas dan jenaka, dengan selera humor yang menggigit dan nalar yang tajam.
Sebagian mengenalnya sebagai tangan halus dalam berbagai strategi kampanye Jokowi sejak 2014. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa dialah dalang di balik banyak “narasi diam” yang menyelubungi kebijakan-kebijakan Jokowi yang kontroversial—dari Omnibus Law, revisi UU KPK, hingga narasi besar soal Ibu Kota Negara (IKN).
Namun tahun 2025 bukan tahun yang mudah. Transisi kekuasaan dari Jokowi ke pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka tidak sekadar serah-terima kekuasaan. Ini adalah tarik-menarik kendali antara pengaruh lama dan pengaruh baru. Jokowi yang semula terlihat akan “pensiun tenang”, tiba-tiba menjadi aktor utama yang hendak tetap memegang kendali lewat anak dan menantu. Dari balik layar, Presiden tampak ingin tetap punya suara di pemerintahan selanjutnya—jika bukan suara, maka bayangan.
Di sinilah posisi Hasan menjadi pelik. Ia berada di tengah-tengah persimpangan: tetap menjadi corong komunikasi Jokowi di saat kepercayaan publik mulai menurun, atau memilih jalan keluar, menjaga integritas dan jarak dari kekuasaan yang kian oportunistik. Ia memilih yang kedua.
Sumber di kalangan internal istana menyebutkan bahwa Hasan sudah mulai menarik diri sejak Pilpres selesai. Ia tidak terlibat aktif dalam perumusan komunikasi pasca-kemenangan Prabowo-Gibran. Bahkan saat Jokowi sibuk membangun jalur transisi informal ke pemerintahan baru lewat para loyalisnya di partai dan kabinet, Hasan justru mulai jarang terlihat.
Beberapa analis membaca keputusan Hasan sebagai sinyal bahwa poros kekuasaan Jokowi mulai mengalami pengikisan kepercayaan dari dalam. Orang-orang yang dulu membantunya membangun narasi kemenangan, kini mulai resah melihat arah kekuasaan melenceng menjadi nepotistik dan manipulatif.
“Hasan adalah pembisik yang tahu kapan harus berhenti berbisik,” ujar seorang kolega lamanya dari kalangan konsultan politik. “Ia paham, terlalu lama dekat kekuasaan hanya akan membuatnya kehilangan kredibilitas.”
Pengunduran diri Hasan Nasbi memang tak akan mengguncang struktur Istana. Tapi secara simbolik, ini adalah sebuah patahan. Hasan mewakili generasi teknokrat dan konsultan politik yang percaya bahwa narasi bukan sekadar propaganda, melainkan arah moral bagi kekuasaan. Dan jika sosok seperti dia memilih untuk angkat kaki, mungkin bukan hanya arah kekuasaan yang sedang melenceng, tapi juga ruh komunikasi itu sendiri.
Kini, Jokowi tinggal dikelilingi para penjilat, bukan penasihat. Dan dalam sejarah republik, kekuasaan yang kehilangan penasehat sejati hampir selalu berakhir dengan luka sejarah.