Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan, namun perubahan ini lebih banyak diwarnai oleh berbagai persoalan yang meninggalkan luka dalam pada bangsa. Dari janji politik yang tak terpenuhi hingga praktik nepotisme yang kian terang-terangan, Indonesia seolah kehilangan momentum berharga selama satu dekade ini. Terlebih lagi, warisan utang yang semakin membengkak hanya mempertegas bahwa kepemimpinan Jokowi membawa lebih banyak beban daripada manfaat bagi rakyat.
1. Janji yang Tak Tercapai dan Akhlak yang Buruk
Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang pada awalnya menjanjikan perubahan besar bagi rakyat. Namun, janji-janji tersebut sebagian besar hanya menjadi ilusi yang tak pernah terwujud. Mobil Esemka, misalnya, yang pernah digadang-gadang sebagai produk kebanggaan nasional, hingga kini tidak pernah mencapai skala produksi yang dijanjikan. Banyak janji lain yang ternyata hanya mimpi kosong bagi rakyat, mulai dari penegakan hukum hingga perbaikan ekonomi yang merata.
Lebih dari sekadar janji politik yang tak ditepati, perilaku Jokowi juga sering kali dipertanyakan. Sebagai seorang pemimpin, ia seringkali dinilai kurang menunjukkan teladan yang baik. Akhlak yang buruk dalam berkomunikasi, pengabaian terhadap kritik, hingga dugaan korupsi yang merundung keluarganya menjadi citra negatif yang melekat pada dirinya. Jokowi seakan menjadi simbol pemimpin yang abai terhadap esensi kepemimpinan yang jujur dan bersih. Dalam Islam, sifat dusta merupakan salah satu akhlak tercela, dan sayangnya, perilaku ini terlihat pada banyak janji politik Jokowi yang tak pernah terealisasi.
2. Nepotisme yang Menggerogoti Demokrasi
Nepotisme di bawah era kepemimpinan Jokowi juga sangat mencolok. Beberapa anggota keluarganya, seperti Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, dilibatkan dalam jabatan-jabatan publik dan politik yang strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga Jokowi mendapat keuntungan dari posisinya sebagai presiden, dengan akses yang jauh lebih mudah ke dunia politik dan bisnis.
Pengangkatan Gibran sebagai Wali Kota Solo dan bahkan pencalonan Kaesang untuk posisi politik, memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh dinasti politik di Indonesia. Jokowi seolah melupakan nilai-nilai meritokrasi dan demokrasi yang seharusnya menjadi dasar pemerintahan yang bersih dan transparan. Nepotisme ini tidak hanya merusak integritas pemerintahan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi yang ada.
3. Warisan Utang yang Membebani Rakyat
Salah satu dampak paling nyata dari kepemimpinan Jokowi adalah utang negara yang semakin membengkak. Menurut laporan “Warta Tempo”, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 8.253,09 triliun per Januari 2024, atau sekitar 38,75% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini sangat mengkhawatirkan, terutama jika dilihat dari bagaimana anggaran tersebut digunakan. Proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan kereta cepat, meskipun penting, tidak semuanya berjalan efisien dan sering kali disertai dengan dugaan praktik korupsi.
Selain itu, penanganan pandemi COVID-19 yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah, malah dijadikan ladang korupsi. Anggaran yang dialokasikan untuk pemulihan ekonomi dan penanganan krisis kesehatan diduga banyak yang disalahgunakan. Rakyat pada akhirnya harus menanggung beban utang ini, sementara banyak proyek yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka.
4. Kehilangan Waktu dan Potensi Bangsa
Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat berharga bagi sebuah negara untuk berkembang. Namun, Indonesia seolah kehilangan dekade ini di bawah kepemimpinan Jokowi. Alih-alih fokus pada peningkatan sumber daya manusia, perbaikan pendidikan, dan inovasi teknologi, pemerintah lebih banyak menghabiskan energi pada proyek infrastruktur yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan mendesak bangsa. Sementara negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand terus berkembang dan memperbaiki ekonominya, Indonesia terjebak dalam siklus utang dan korupsi.
Potensi besar Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan populasi muda yang produktif tidak dimaksimalkan. Sebaliknya, berbagai peluang emas untuk mengangkat bangsa ke level yang lebih tinggi justru dihambat oleh masalah internal seperti korupsi, nepotisme, dan ketidakpastian hukum.
5. Harapan Baru untuk Masa Depan
Setelah sepuluh tahun, Indonesia kini dihadapkan pada transisi kepemimpinan yang baru. Harapan besar diletakkan pada bahu pemimpin selanjutnya untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditinggalkan oleh Jokowi. Masyarakat Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya jujur, tetapi juga memiliki integritas dan komitmen untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Langkah awal yang dapat diambil oleh pemimpin baru adalah mengevaluasi dan meninjau kembali proyek-proyek infrastruktur besar yang telah dijalankan. Selain itu, transparansi dalam penanganan utang negara serta upaya pembersihan praktik nepotisme dan korupsi harus menjadi prioritas utama. Tanpa reformasi yang mendalam, Indonesia akan terus terperangkap dalam siklus ketidakstabilan ekonomi dan politik.
Kesimpulan
Kepemimpinan Jokowi telah menjadi beban yang terlalu mahal bagi rakyat Indonesia. Dalam satu dekade, negara ini telah kehilangan waktu yang berharga, kesempatan untuk maju, dan potensi untuk menjadi negara yang lebih sejahtera dan berdaya saing tinggi. Janji-janji politik yang kosong, praktik nepotisme yang merajalela, dan warisan utang yang besar menjadi gambaran buruk dari era Jokowi. Kini, harapan besar ada pada pemimpin baru untuk mengembalikan Indonesia ke jalur yang benar dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.