Oleh: Nazaruddin
Tragedi ambruknya bangunan di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, bukanlah bencana alam, apalagi “takdir” yang tak terelakkan. Ia adalah hasil nyata dari kelalaian manusia. Sebuah bangunan sejatinya berdiri di atas kalkulasi ilmiah—besi, semen, pondasi, dan struktur—semuanya bisa diuji dan dipertanggungjawabkan. Maka, ketika bangunan runtuh dan menelan korban jiwa, itu bukan kehendak langit, melainkan kesalahan manusia yang harus dimintai tanggung jawab.
Setiap nyawa yang melayang adalah akibat dari kelalaian berlapis, bukan takdir. Namun di tengah kabut duka, muncul lapisan lain yang tak kalah suram. Alih-alih melakukan introspeksi, narasi “takdir” justru digunakan untuk mempertahankan hegemoni moral atas para wali santri. Dan yang lebih menyedihkan, perhatian publik serta pejabat bergeser dari penyelamatan korban menjadi panggung dramaturgi kepedulian.
Dramaturgi di Atas Reruntuhan
Para pejabat dan pesohor berdatangan membawa kamera, berpidato soal IMB dan “pembangunan pesantren,” bahkan berpose di tengah puing-puing. Mereka tampil gagah di atas reruntuhan, menjadikan tragedi sebagai panggung empati politik. Ucapan belasungkawa berubah menjadi alat pencitraan. Sementara keluarga korban masih menunggu kejelasan, publik terpecah antara empati, amarah, dan penghakiman di media sosial.
Fokus penyelamatan pun bergeser menjadi eksploitasi emosional. Para pejabat berlomba-lomba menampilkan kepedulian, tapi lupa bahwa duka tak butuh kamera—ia hanya butuh tindakan nyata dan kecepatan penyelamatan.
Mencari Kambing Hitam dan Hutang Negara
Di sisi lain, muncul narasi yang mencoba mengalihkan perhatian dengan menyalahkan negara. Pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan tertua yang berjasa besar bagi bangsa, namun kini dibiarkan hidup seadanya. Pertanyaan klasik pun menyeruak: “Apa yang sudah negara lakukan untuk pesantren?”
Argumen ini sekilas tampak heroik, namun juga menyesatkan dari inti persoalan. Benar, kontribusi pesantren bagi republik ini sangat besar, dan negara lama abai terhadapnya. Namun faktanya, sejak era Jokowi, alokasi dana untuk pesantren meningkat: ada Dana Abadi Pesantren, hibah APBN/APBD, bantuan sarana-prasarana, hingga beasiswa santri. Masalahnya, banyak pesantren belum berbadan hukum, sehingga dana bantuan kerap tercatat sebagai aset pribadi pengasuh atau keluarganya. Ini bukan tuduhan, melainkan realitas struktural yang diketahui banyak pihak.
Karena itu, kelalaian konstruksi tidak bisa dibenarkan dengan dalih “hutang sejarah” atau “minimnya perhatian negara.” Sebab sunnatullah keselamatan adalah tanggung jawab manusia, bukan perkara yang bisa dinegosiasikan.
Sunnatullah Keselamatan: Amanah yang Tak Bisa Ditawar
Mengabaikan izin bangunan mungkin bisa dimaklumi sebagai bentuk keterbatasan birokrasi. Namun mengabaikan standar keselamatan teknis yang berisiko mengancam nyawa santri adalah pelanggaran terhadap sunnatullah itu sendiri. Keselamatan bukan urusan administratif semata, melainkan perintah moral dan spiritual.
Fakta bahwa bangunan itu roboh membuktikan adanya kelalaian sistemik: dari perencanaan, pemilihan bahan, hingga pengawasan. Maka tragedi ini bukanlah “musibah alamiah,” melainkan buah pahit dari kelalaian manusia.
Sudah saatnya publik berhenti pada dua ekstrem: menghakimi secara brutal atau memaafkan dengan fatalisme religius. Kita perlu menuntut tiga hal konkret:
Pertanggungjawaban teknis dan manajerial atas kelalaian yang menimbulkan korban jiwa.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dan pembangunan di lingkungan pesantren.
Standar keselamatan nasional bagi seluruh pesantren di Indonesia, agar nyawa santri tak lagi menjadi taruhan pengabdian.
Refleksi: Krisis Etika Publik di Balik Reruntuhan
Tragedi ini adalah cermin buram dari krisis etika publik kita: ketika tanggung jawab diganti dengan doa, dan empati dijadikan pertunjukan. Kita hidup di zaman di mana simbol lebih penting daripada substansi, dan keikhlasan tersisih oleh kepentingan pencitraan. Padahal, inti dari religiositas adalah kepedulian yang berakar pada tanggung jawab—bukan sekadar retorika kesalehan di depan kamera.
Jangan biarkan para korban dikenang hanya sebagai “korban takdir.” Mereka adalah korban dari kelalaian yang bisa dicegah. Dan dalam sunnatullah kehidupan, kelalaian manusia bukan untuk ditutupi dengan retorika agama atau politik—tetapi untuk diakui, disesali, dan dipertanggungjawabkan.
Sebab dari reruntuhan inilah seharusnya lahir kesadaran baru: bahwa iman sejati tidak berhenti pada doa, tetapi diwujudkan dalam tanggung jawab atas kehidupan.

Oleh: Nazaruddin




















