Oleh: Nazaruddin
Runtuhnya bangunan Pesantren Al Khoziny yang menewaskan lebih dari 60 santri bukan sekadar kecelakaan konstruksi, melainkan cermin buram krisis logika dan feodalisme yang masih mengakar di negeri ini. Dalih “menerima takdir dan ikhlas” yang digunakan untuk membungkam tuntutan pertanggungjawaban adalah sesat pikir (logical fallacy) yang berbahaya. Mengimani takdir tidak pernah berarti meniadakan kewajiban menegakkan keadilan dan hukum positif.
Tragedi ini dengan terang menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap standar keselamatan bangunan, terlebih pada fasilitas pendidikan yang menampung anak-anak. Regulasi seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 telah secara tegas mengatur syarat keamanan struktural. Mengabaikan aspek perencanaan, pembangunan, atau pemeliharaan hingga menyebabkan robohnya gedung bukanlah kelalaian biasa — melainkan tindak pidana yang harus diusut tuntas.
Lebih dari itu, tewasnya puluhan santri yang mayoritas masih anak-anak menyeret persoalan perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan tanggung jawab negara, masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan untuk menjamin keselamatan serta kesejahteraan anak dari segala bentuk kekerasan maupun penelantaran. Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan tidak boleh berlindung di balik simbol kesalehan untuk menutupi kelalaian yang mengorbankan nyawa. Kegagalan menjamin keselamatan santri adalah bentuk pengkhianatan terhadap hak anak untuk hidup dan berkembang dengan aman.
Ironisnya, setiap kali tragedi seperti ini terjadi, feodalisme kultural segera mengambil alih logika publik. Figur Kyai ditempatkan pada posisi sakral yang tak boleh disentuh kritik. Mereka yang mempertanyakan tanggung jawab dianggap “kurang adab”, “tidak beretika”, bahkan “menghina ulama.” Pola ini bukan sekadar ekspresi hormat, melainkan mekanisme sosial untuk melanggengkan impunitas. Padahal, setinggi apa pun kehormatan seorang Kyai, ia tetap manusia biasa — warga negara yang tunduk pada hukum, bukan entitas suci yang kebal dari pertanggungjawaban.
Jika hukum dan keselamatan publik terus dibungkam atas nama “takdir” dan “adab,” maka kedaulatan hukum dan akal sehat bangsa ini sedang berada di titik nadir. Tragedi Al Khoziny bukan hanya musibah kemanusiaan, melainkan ujian bagi nalar publik, integritas hukum, dan keberanian kita melawan feodalisme yang telah lama meninabobokan kesadaran kritis masyarakat.
Keadilan bagi para korban bukan sekadar bentuk empati, melainkan tanda bahwa bangsa ini masih memiliki nalar dan nurani.
Oleh: Nazaruddin





















