Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta – Heboh transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan baru reda, kini muncul transaksi mencurigakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, transaksi-transaksi mencurigakan itu berakhir antiklimaks. Seperti onani!
Dikutip dari Tempo.co, Senin (3/7/2023), mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengatakan ada seorang pegawai komisi antirasuah di bidang penindakan yang memiliki nilai transaksi mencurigakan. Dia menyebut berdasarkan laporan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) nilai transaksi si pegawai itu mencapai Rp300 miliar lebih, bahkan hingga Rp1 triliun.
Nyanyian sumbang Novel itu kemudian dijawab Juru Bicara KPK Ali Fikri bahwa penyidik yang dimaksud Novel itu sudah tak bekerja lagi di KPK dan kini menjabat Kepala Kepolisian Resor (Kapolres). Informasinya, pegawai tersebut bernama AKBP Tri Suhartanto yang kini menjabat Kapolres Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Ali mengatakan mantan pegawai yang disebut oleh Novel itu memang pernah bekerja di KPK sejak akhir 2018 hingga Februari 2023. Selama bertugas di KPK, lembaganya telah melakukan pemeriksaan terkait temuan transaksi tersebut dan sudah dikonfirmasi ke yang bersangkutan, dan hasilnya tidak benar ada kaitan dengan tugasnya selama di KPK.
Ali mengatakan si penyidik menyatakan transaksi itu hanyalah uang yang berputar di rekening pribadinya. Menurut dia, yang bersangkutan memiliki bisnis pribadi sejak 2004, jauh sebelum bergabung dengan KPK. Bahkan sejak 2018 rekening dimaksud sudah ditutup.
Antiklimaks
Apa yang disampaikan Ali Fikri itu diamini Tri Suhartanto. Dus, serial satu babak yang diputar Novel Baswedan pun berakhir antiklimaks, sebagaimana serial-serial sebelumnya seperti pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri dan gratifikasi Lili Pintauli Siregar semasa menjabat Wakil Ketua KPK. Tak akan ada tindak lanjutnya.
Kini, masih tersisa serial lain di KPK, yakni pungutan liar Rp4 miliar dan pelecehan seksual yang melibatkan petugas rumah tahanan KPK, serta perselingkuhan antarsesama pegawai KPK.
Serial lainnya lagi adalah dugaan pembocoran dokumen laporan hasil penyelidikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diduga melibatkan Ketua KPK Firli Bahuri. Atas kasus ini, Dewan Pengawas (Dewas) KPK sudah mengambil keputusan, yakni tak akan membawanya ke sidang etik dengan dalih tidak ditemukan cukup bukti.
Sebaliknya, Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto, yang pernah “disingkirkan” Firli dari jabatannya sebagai Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, menyatakan sudah menaikkan kasus dugaan pembocoran laporan hasil penyelidikan di Kementerian ESDM ini ke tahap penyidikan. Artinya, sudah ditemukan unsur pidananya. Artinya pula, pengumuman nama tersangka hanya soal waktu saja.
Akankah kasus dugaan pembocoran dokumen hasil penyelidikan yang diduga melibatkan Ketua KPK Firli Bahuri ini berakhir antiklimaks pula? Kita tunggu saja tanggal mainnya.
Ternyata, transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kemenkeu juga antiklimaks. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md, dan juga DPR RI yang sempat menggebu-gebu dan hendak membentuk Panitia Khusus (Pansus) pun kini loyo sudah.
Diberitakan, nilai transaksi janggal Rp349 triliun tersebut diperoleh dari 300 surat laporan PPATK pada periode 2009-2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim beberapa laporan tersebut sudah ditindaklanjuti.
Dari jumlah itu, ada beberapa kelompok transaksi yang coba diurai Sri Mulyani. Pertama, transaksi Rp189 triliun yang terkait tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua, transaksi Rp253 triliun yang tidak terkait pegawai Kemenkeu.
Ketiga, transaksi debit/kredit terkait pegawai Kemenkeu yang nilainya Rp22 triliun, di mana Rp3,3 triliun di antaranya merupakan transaksi pegawai Kemenkeu, dan Rp18,7 triliun lainnya merupakan akumulasi transaksi debit/kredit terkait operasional korporasi dan orang pribadi, yang tidak ada kaitan dengan pegawai Kemenkeu.
Sri Mulyani menjelaskan, terdapat nilai transaksi janggal Rp3,3 triliun oleh 348 pegawai Kemenkeu. Dari 348 pegawai yang terlibat, Sri Mulyani telah menjatuhkan hukuman disiplin terhadap 164 pegawai, yakni 37 pegawai diberhentikan, 20 pegawai dibebaskan dari jabatan, 64 pegawai diturunkan pangkatnya, dan 43 pegawai mendapatkan teguran hingga penundaan kenaikan pangkat.
Kemudian 184 pegawai terdiri dari 13 pegawai telah divonis pengadilan, 41 pegawai telah dilakukan proses audit investigasi/klarifikasi. Kemudian 12 pegawai terlibat dalam “clearance” untuk promosi atau mutasi jabatan.
Ada pula 13 pegawai yang terlibat telah pensiun atau mengundurkan diri, serta 79 pegawai yang belum ditemukan indikasi pelanggaran, namun digunakan sebagai data profil pegawai, dan 26 pegawai terhitung dobel (data ganda) oleh PPATK.
Transaksi janggal Rp349 triliun di Kemenkeu ini mencuat setelah terkuaknya harta tak wajar pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo Rp46 miliar dan transaksi di rekening dia dan keluarganya mencapai Rp500 miliar. Rafael kemudian ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Kasus Rafael ini terbongkar setelah anaknya, Mario Dandy Satrio menganiaya David Ozora. Setelah itu, terbongkarlah kasus korupsi dan TPPU Kepala Bea Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono.
Ini baru dua instansi, yakni KPK dan Kemenkeu. Belum instansi-instansi lainnya yang tak kalah memprihatinkan seperti DPR RI, Polri dan Kejaksaan RI.
Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).