Pada Oktober 2018, sebuah “karavan migran” yang terdiri dari pencari suaka dari Honduras menuju Amerika Serikat. Mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan yang menghantui wilayah tersebut—realitas yang, ironisnya, sebagian besar dibentuk oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat selama beberapa dekade.
Namun, alih-alih melihat tragedi ini sebagai krisis kemanusiaan, Presiden Donald Trump saat itu memilih untuk mempolitisasinya. Dengan retorika khasnya yang xenofobik, Trump menyebut situasi ini sebagai “Emergy Nasional” (salah eja dari “Emergency”) melalui Twitter. Ia memperingatkan bahwa para pencari suaka ini bercampur dengan “penjahat dan orang Timur Tengah yang tidak dikenal,” meski tidak ada bukti mendukung klaim tersebut. Trump kemudian mengerahkan 5.200 pasukan militer aktif ke perbatasan selatan, lengkap dengan kawat berduri dan peralatan lainnya.
Meski AS tidak mengalami dampak signifikan dari “ancaman” tersebut, ribuan pencari suaka telah kehilangan nyawa dalam perjalanan mencari perlindungan. Kini, ketika Trump kembali mencalonkan diri sebagai Presiden, ia tampaknya siap untuk mengulangi “Emergy Nasional,” kali ini dengan janji untuk melaksanakan “operasi deportasi terbesar” dalam sejarah AS.
Trump secara terbuka menyatakan rencana untuk menggunakan militer guna mengusir jutaan imigran tanpa dokumen, sebuah langkah yang menegaskan bahwa ini adalah perang terhadap para migran. Ironisnya, retorika Trump sebagai pemimpin anti-perang tidak sesuai dengan kebijakan ini.
Namun, perang terhadap pencari suaka bukanlah hal baru di Amerika Serikat. Presiden Joe Biden, yang akan lengser, juga berkontribusi pada masalah ini. Pada tahun fiskal 2023, lebih dari 142.000 deportasi terjadi di bawah kepemimpinannya. Bahkan, Biden melanjutkan pembangunan tembok perbatasan yang menjadi simbol kebijakan anti-imigran Trump, meskipun ia sebelumnya berjanji untuk menghentikannya.
Alih-alih bertindak langsung, Biden semakin bergantung pada pemerintah Meksiko untuk menekan migrasi. Kebijakan ini membuat perjalanan para migran semakin berbahaya dan menguntungkan otoritas korup serta kelompok kejahatan terorganisir. Di kedua sisi perbatasan, “keamanan perbatasan” telah menjadi bisnis besar yang didukung oleh para politisi, baik dari Partai Republik maupun Demokrat.
Kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan hanya akan memperburuk situasi. Dengan narasi bahwa Biden mengelola kebijakan “perbatasan terbuka” yang sembrono, Trump memperkuat perang melawan para migran. Ia bahkan berencana untuk melarang hak suaka, yang melanggar hukum nasional dan internasional.
Yang lebih paradoks, “Emergy Nasional 2.0” juga merupakan perang terhadap Amerika Serikat sendiri. Dengan mengusir imigran tanpa dokumen, Trump mengancam keberlanjutan ekonomi negara yang sangat bergantung pada tenaga kerja migran. Sebuah laporan Kamar Dagang AS mencatat bahwa negara ini mengalami kekurangan tenaga kerja yang signifikan. Bahkan jika seluruh pengangguran di AS mendapat pekerjaan, masih akan ada jutaan posisi kosong.
Sebaliknya, imigran telah menjadi tulang punggung pasar tenaga kerja AS. Pada tahun 2023, pekerja imigran mencakup 18,6 persen dari total tenaga kerja, sebuah kontribusi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi masa depan. Namun, Trump lebih memilih menyebarkan klaim-klaim absurd, seperti tuduhan bahwa imigran Haiti di Ohio memakan hewan peliharaan, alih-alih fokus pada solusi nyata.
Pada akhirnya, banyak hal di Amerika yang benar-benar layak disebut sebagai darurat nasional—penembakan di sekolah, kekerasan senjata, rasisme institusional, krisis tunawisma, dan sistem kesehatan yang eksploitatif. Namun, “Emergy Nasional” ala Trump bukanlah tentang menyelesaikan masalah ini. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis nyata melalui absurditas paranoid.
Ketika Trump kembali menggalang pasukan untuk perang favoritnya, logika dan kemanusiaan tampaknya akan menjadi korban berikutnya.