Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
….Sehingga para guru besar pidana, pejabat tinggi kejaksaan, petinggi hakim terlibat dalam praktik mafia peradilan, seperti korupsi. Sehingga hukum tidak hanya kusam dan membusuk, namun menyebabkan keadilan mati…..
Buruknya penegakan hukum di Indonesia tidak hanya berada dalam tataran praktis, akan tetapi dapat lahir dari pemahaman hukum yang rendah.
Rendahnya pengetahuan dapat mempengaruhi kepribadian seorang guru besar dan para ahli hukum, sehingga dengan mudah menyampaikan sesuatu yang salah demi membela yang membayar.
Pengetahuan yang rendah, dapat menghilangkan subtansi hukum darn berdirinya ketidakadilan, sehingga memproduksi polisi, jaksa, hakim dan pengacara.
Sehingga para guru besar pidana, pejabat tinggi kejaksaan, petinggi hakim terlibat dalam praktik mafia peradilan, seperti korupsi. Sehingga hukum tidak hanya kusam dan membusuk, namun menyebabkan keadilan mati.
Pada akhirnya kampus-kampus besar dan ternama seperti UI, UGM, dan lainnya hanya memproduksi generasi hukum yang menjadi perusak peradaban penegakan hukum di Indonesia dan korbannya rakyat yang lemah.
Berkali-kali kita mendengar Prof guru besar hukum pidana sekaligus Wamenkumham Eddie O. Hiariej berpidato tetang hukum, namun tak banyak yang memahami bahwa apa yang disampaikan jauh dari pemahaman hukum, yang pada akhirnya kekeliruan tersebut dilahirkan dalam bentuk undang-undang yang sangat menyesatkan.
Seperti contoh saat Guru besar hukum pidana ini menyampaikan keahliannya pada beberapa persidang LAN yang menyinggung tentang postulat teori hukum pembuktian.
Hiariej menyampaikan postulat Actori Incumbit Probatio, Hiariej bahkan salah dalam mengucapkan frasa “Probatio” dengan “Probacio” pada sidang Sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah.
Pernyataan ini berdebar dapat ditemukan dimedia sosial, hal tersebut dianggap suatu pernyataan yang luar biasa oleh orang-orang yang tidak memahami perihal pentingnya bahasa dalam hukum.
Bayangkan, kekeliruan inilah yang akan diajarkan dan diturunkan bagi generasi penegak hukum di Indonesia.
In Cimnil Justice System, baik atau buruknya suatu penegakan hukum tidak hanya disebabkan oleh petugas yang buruk, akan tetapi pengetahuan yang buruk akan melahirkan produk undang undang yang buruk, diakhiri dengan praktik yang buruk.
Postulat yang akan kami tuliskan dibawah ini 99 persen berbeda dengan yang diketahui di Indonesia. Demikian juga yang tertulis pada buku-buku hukum secara nasional atau website hukum, seperti website, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/2193-actori-in-combit-onus-probandi.
Tentunya, dalam ilmu pengetahuan hukum dipastikan setiap orang tidak menguasai pemahaman hukum secara utuh, akan tetapi sebagai seorang guru besar tak pantas bila hal-hal sekecil itu tidak memahami, terlebih mendapatkan fasilitas negara untuk melakukan penelitian seperti Mahkamah Agung.
Berikut ini adalah postulat teoritis hukum pembuktian yaitu :
POSTULAT HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA
Actori incumbit probatio. Kata Probatio lahir dari dua akar kata yaitu :
- Proba artinya bukti, dan
- Probus artinya kejujuran).
Turunan postulat ini adalah “homo non elepabhus, lux non est subtania” dalam satu perkara yang tengah dihadapkan didepan pengadilan, kedua belah pihak yang saling bantah membantah, tuduh menuduh sudah saling benci, saling menyerang satu sama lain untuk saling membuktikan masing-masing adalah paling benar, dan saat itu ada energi yang tersita, kemarahan yang besar mengakibatkan kecerdasan tidak lagi menjadi subtansi bagi mereka.
“Homo non elephabus” manusia bukan hewan, “Lux non est subtantia” kecerdasan bukanlah subtansi.
Maka postulat ini menekankan pada fungsi hakim untuk dan harus seimbang memberikan ruang pada kedua belah pihak dalam memberikan bukti dan alat bukti (tuntutan dan pembelaan), hakim harus seadil-adilnya terhadap kedua pihak.
Tidak ada kebenaran materiil akan ditemukan bila sedikit saja prinsip ini bergeser terlebih pergeseran yang disengaja.
Dalam hal ini juga fungsi Pengacara sebagai pemebela, selalin dari membela harus mampu memastikan agar tidak terjadi pelanggaran atas hak terdakwa.
Seorang pengacara tidak akan perduli dengan cibiran dan gosip yang diterima dalam membela dan mencari keadilan, seorang pengacara hanya berpijak pada prinsip hukum.
Kejujuran moral yang sangat ditekankan dalam proses peradilan pidana, kejujuran moral yang dimaksud berkaitan dengan barang bukti-bukti, alat bukti dan keterangan (ucapan lisan dan tertulis) yang dihadirkan dalam ruang pengadilan.
Moral yang dimaksud diatas adalah berkaitan dengan dua jenis moral yaitu :
- Moral Estetika, dan
- Moral Positif
Moral estetika berkaitan dengan bahasa agama dan bahasa budaya. Contoh moral estetika, seseorang yang berkata kekasaran seperti : “tolol”, “bajingan”, “dungu” atau hardikan lain didepan publik. Akan membuat rusak eksistensi bahasa agama dan bahasa budaya. Hal ini tidak ada kaitannya dengan hukum namun dapat berdampak pada konsekuensinya hukum.
Moral Positif berkaitan dengan hukum positif, contoh: Tidak taat pada aturan-aturan hukum administratif, tata cara mendapatkan barang bukti dengan cara manipulasi, semena-mena, atau mengintimidasi. Atau ahli menyampaikan suatu konsep hukum dengan manipulasi. Maka hal ini akan merusak eksistensi peradaban hukum.
Kebenaran dan keadilan adalah Dwi tunggal, tanpa kejujuran yang disebutkan kebenaran dan keadilan tidak dapat terpenuhi.
Oleh sebab itu, dalam hukum pidana, pemidanaan adalah pilihan terakhir “ultimatum remedium” adalah bentuk pertanggungjawaban para pengacara, polisi, jaksa dan hakim kepada Tuhan yang akan menuntut orang-orang diatas kelak dihadapan pengadilan Tuhan.
Disebutkan bahwa Dewi Themis abad pada ke 5 keatas matanya tertutup, sedangkan dibawah abad ke 5 matanya terbuka.
Disebutkan dalam Mitologi Yunani bahwa Dewi Themis adalah Dwi yang akan menuntut orang-orang yang tidak jujur dalam persidangan sehingga melempar mereka ke surga atau neraka (Pidana pilihan Akhir).
POSTULAT HUKUM PEMBUKTIAAN PERDATA
- De Actore non probante in genere (Penggugat Tidak dapat membuktikan secara umum);
- De Actore non probante in actore negatoria (Terhadap penggugat yang tidak dapat membuktikan dalam gugatan negatif);
- De Actore Non Probante in querela inofficofi testamenti (Kegagalan penggugat untuk memberikan kesaksian dalam pengaduan jabatan) – PERSIDANGAN PTUN
- De Actore non probante in querela non numeratae pecuniae (Kegagalan penggugat untuk memberikan kesaksian dalam pengaduan tentang uang yang belum dibayar);
- De Actore non probante in actione subsidiaria (Kegagalan penggugat yang gagal memberikan kesaksian dalam tindakan fidusia).
Setiap urutan Postulat diatas memiliki makna, batasan-batasan dan tujuan masing-masing tentang proses dalam tataran praktis.Dalam keseharian lain akan dijelaskan satu persatu secara luas.
POSTULAT HUKUM PEMBUKTIAN CAMPURAN PIDANA DAN PERDATA
Actori in cumbit onus probandi, Reus Absolutivir (Tentang penuntut yang tak dapat membuktikan kesalahan, maka harus dibebaskan.
Hal ini berlaku dalam system hukum pembuktian Prancis,di adopsi dari ajaran hukum Romawi.
Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan ringan yang merugikan, maka pelapor atas kejahatan tersebut diberikan ruang bersama-sama dengan JPU untuk menuntut pelaku dalam hukum pidana, bila tak dapat dibuktikan maka harus dibebaskan, akan tetapi usaha selanjutnya bagi yang merasa dirugikan adalah menuntut secara hukum perdata atas kejahatan tersebut.
Contoh kasus, pencemaran nama baik atau disebut dalam konsep Prancis, Beranda sebagai “denunciation colomuniese”. Dalam hukum pidana Belanda mengatur tiga hal, yaitu :
- Beleid artinya penghinaan.
- Smaad artinya cemoohan.
- Laster artinya fitnah.
Doktrin ini sejak dahulu dan hingga kini masih eksis di Belanda, lagi-lagi kekeliruan Eddie Hiariej baikbdalam tulisan dan penjelasannya dimedia online dan televisi pada saat ramainya pro kontra KUHP Nasional (KUHP Baru).
Perlu diketahui, konsep tersebut masih digunakan di Prancis hingga saat ini, akan tetapi sedikit mengalami perubahan.
Bila terdahulu tuntutan dilakukan pertama di Pengadilan Pidana lalu pengadilan perdata. Saat ini hanya di pengadilan Pidana dengan tuntutan pidana dengan maksud mengejar perdata (ganti kerugian, atau Tort Law), tidak serta merta tertuntut untuk dipenjarakan.
“Point de délit, point d’action civile à raison du délit,” Tidak ada pelanggaran, tidak ada tindakan atas perdata tersebut.
Contoh kasus: pelaku penamparan Presiden Immanuel Macron pada tahun 2021, hanya di pidana empat bulan, dia di penjara sebab perdata atau ganti rugi tidak dikejar oleh yang dirugikan, demi membuat efek jera maka pelaku di hukum penjara.
Walaupun pada awalnya diperkirakan akan di penjara selama 3 Tahun dan denda cukup besar, namun suatu peradilan yang sehat akan mempertimbangkan dampak buruk secara psikologis waga negara yang dipenjarakan dengan waktu lama.
Belanda dan Jerman juga menggunakan konsep yang sama, hanya sedikit berbeda dengan Prancis akan tetapi memiliki subtansi yang sama.
Contoh pada KUHP Belanda saat ini, yaitu pengaturan tentang pencemaran nama baik pada Pasal 266 dan Pasal 267 Ayat (1),(2), dan Ayat (3)“WvS”.
Bila seseorang di laporkan atas tuduhan kejahatan pencemaran nama baik, dan bila hakim dapat membuktikan maka tervonis didenda membayar sebesar 250 Euro, apabila tidak mampu membayar, maka dihukum penjara selama 4 bulan.
Sumber :
Stutz, 1705, Gockinga, 1838
Michael Rhode, 1700
Pinto, 1850
Lon L. Fuller, 2020
Adam Smith “Theory of Moral Sentiment”
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/2193-actori-in-combit-onus-probandi
YouTube Mahkamah Konstitusi https://news.detik.com/internasional/d-5602777/vonis-4-bulan-penjara-bagi-penampar-presiden-prancis/2