Oleh Damai Hati Lubis : Ketua Aliansi Anak Bangsa
(Ikhtisar: Langkah Hukum Menghadapi Problematika PSN dalam Hubungan Hukum dengan Proyek PIK 2)
Artikel ini mengulas isu mendasar terkait kesepakatan seluruh anak bangsa yang tertuang dalam konstitusi dasar UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3. Pasal ini menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Prinsip ini adalah wujud semangat nasionalisme terhadap tanah air, sebagaimana diwariskan oleh para pendahulu bangsa pasca-kemerdekaan.
Namun, bagaimana prinsip ini diterapkan dalam konteks Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya PIK 2? Apakah pelaksanaannya benar-benar sejalan dengan cita-cita konstitusi, ataukah justru melahirkan praktik yang bertentangan dengan kepentingan rakyat?
Kerangka Legalitas PSN dan Relevansi dengan PIK 2
PSN diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021, yang sebelumnya mengalami berbagai revisi sejak Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016. Secara hukum, PSN memiliki dasar legalitas yang sah. Namun, persoalan utamanya adalah apakah pelaksanaan PSN, termasuk PIK 2, benar-benar memenuhi prinsip “demi kemakmuran rakyat” sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Isu-isu yang mencuat terkait proyek ini, di antaranya:
- Keberlanjutan Kemakmuran Rakyat
Apakah pelaksanaan proyek sudah sesuai dengan norma dan logika ekonomi untuk menjamin kemakmuran rakyat? Jika sudah, negara harus memastikan hukum ditegakkan untuk memberikan kepastian dan manfaat bagi masyarakat.
- Jeritan dan Perlawanan Rakyat
Mengapa timbul protes dari masyarakat terkait penggunaan tanah mereka? Apakah ada ketidakadilan dalam proses pengambilan tanah, termasuk kompensasi yang tidak layak?
- Ketidakmampuan Aparat Negara
Jika pejabat publik gagal menangani masalah ini dengan adil, mereka dapat dianggap tidak kredibel. Hal ini akan memicu kecurigaan publik terhadap keberpihakan aparatur negara pada konglomerat tertentu.
Peran Negara sebagai Pengelola Sumber Daya
Negara, melalui aparat eksekutif dan legislatif, memiliki kewajiban untuk turun tangan secara aktif. Mereka harus menginvestigasi apakah proyek seperti PIK 2 sudah memenuhi asas legalitas dan keadilan. Beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawab:
- Apakah pelaksanaan proyek sesuai dengan regulasi yang berlaku?
Apakah terjadi pelanggaran asas tertinggi konstitusi, yaitu “kemakmuran rakyat”?
Mengapa timbul perlawanan rakyat terhadap proyek tersebut?
Langkah Bijak dalam Menyelesaikan Konflik
Jika regulasi ternyata sudah dipenuhi, tetapi masih terjadi perlawanan, maka solusi yang diambil harus melibatkan penghentian sementara proyek dan peninjauan ulang izin pelaksanaan. Bahkan, jika ditemukan bukti kuat adanya pelanggaran hukum atau manipulasi, DPR RI memiliki kewenangan untuk membatalkan proyek secara permanen.
Jika aparat terkait tetap tidak bertindak, masyarakat dapat mengambil langkah-langkah hukum, di antaranya:
- Judicial Review (JR)
Mengajukan uji materi terhadap PP terkait di Mahkamah Agung.
- Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Melalui Pengadilan Negeri untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
- Aksi Massa
Demonstrasi damai sebagai bentuk kebebasan berpendapat untuk menuntut keadilan dan melawan kepentingan oligarki yang merugikan rakyat.
Penutup
Proyek-proyek besar seperti PIK 2 tidak boleh mengorbankan hak-hak rakyat atas nama kemajuan. Jika aparat negara terbukti berpihak pada kepentingan segelintir elit, maka masyarakat wajib bersatu memperjuangkan keadilan. Semangat Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan pembangunan, demi memastikan bahwa kemakmuran bangsa adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir pihak yang “berdiri mengangkang.”
Penulis: Damai Hati Lubis
Pakar Kebebasan Berpendapat dan Peran Serta Masyarakat