Ketika musim dingin menggantung di Jepang, dan waktu melangkah menuju akhir Januari, sebuah gunung kecil bernama Wakakusa di Nara menyiapkan dirinya untuk sebuah tradisi kuno yang mempesona. Di sinilah langit dan bumi bertemu dalam nyala api, membakar alang-alang kering dan meninggalkan jejak sejarah yang membara. Tradisi itu disebut Yamayaki, yang secara harfiah berarti “pembakaran gunung.”
Malam itu dimulai dengan dentuman kembang api, sebuah pertanda bahwa waktu telah tiba. Langit gelap diterangi oleh cahaya warna-warni yang seolah-olah membisikkan salam kepada masa lalu. Ribuan mata menyaksikan dengan rasa ingin tahu, merasakan semangat tradisi yang berdenyut dalam udara dingin. Kemudian, dengan nyala obor, api pertama dinyalakan – kecil, sederhana, tapi penuh makna.
Sebuah Nyala Api, Sebuah Kisah
Api mulai menjalar di permukaan Gunung Wakakusa, membakar alang-alang yang kering dan menari-nari seperti penari liar di atas panggung raksasa. Namun, ini bukan sekadar tontonan. Di balik nyala itu, tersimpan cerita yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ada yang mengatakan tradisi ini dimulai sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa perbatasan antara kuil-kuil di Nara. Ketika kata-kata tak lagi cukup, mereka memutuskan untuk membakar gunung sebagai penanda wilayah.
Ada pula yang percaya bahwa api Yamayaki adalah upaya manusia untuk menjinakkan alam. Membakar alang-alang menjadi simbol membersihkan yang lama untuk menyambut yang baru, sekaligus ritual untuk mengusir hama dan membawa keberuntungan bagi ladang. Namun, di atas semua itu, Yamayaki adalah perayaan hubungan manusia dengan alam – sebuah dialog tanpa kata, tapi penuh makna.
Keindahan yang Tak Terdefinisi
Saat api menjalar semakin luas, gunung yang semula gelap berubah menjadi lautan cahaya. Alang-alang yang terbakar menciptakan siluet api yang menjulang, memantulkan cahaya di wajah-wajah yang menyaksikan. Anak-anak terpesona, tangan mereka menggenggam erat tangan orang tua, sementara pasangan muda berbisik-bisik, berbagi kehangatan yang tak hanya berasal dari api.
Di kejauhan, Gunung Wakakusa seolah mengaum, bukan dengan amarah, melainkan dengan kegembiraan. Api tidak lagi sekadar elemen penghancur; ia adalah pembawa kehidupan baru. Setelah Yamayaki selesai, gunung akan bersiap untuk musim semi, ketika rerumputan hijau akan tumbuh kembali, membawa janji baru.
Makna dalam Keabadian Tradisi
Yamayaki adalah pengingat bahwa dalam siklus kehidupan, ada saat untuk melepas dan membakar yang lama agar ruang bagi yang baru dapat tercipta. Seperti alang-alang di Gunung Wakakusa, kita pun kadang perlu membiarkan api waktu membakar kebiasaan usang, rasa sakit, atau kenangan yang membebani. Dari abu, tumbuhlah kekuatan baru.
Saat kita menyaksikan Yamayaki, kita tidak hanya melihat sebuah gunung terbakar. Kita menyaksikan tradisi yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, manusia dan alam, kegelapan dan cahaya. Di bawah langit malam Jepang, Yamayaki bukan sekadar acara tahunan – ia adalah perayaan jiwa yang terus menyala, seperti api yang abadi.