Dua kasus yang melibatkan lembaga kepolisian di Indonesia, yakni pengaduan SBY terhadap Zaenal Maarif Tahun 2007 dan tuduhan terhadap Benny Rhamdani terkait sosok Mister T, mencerminkan absurditas dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kepolisian sebagai penegak hukum. Kasus-kasus ini bukan hanya memperlihatkan kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap keadilan dan kenyataan yang terjadi, tetapi juga mempertanyakan konsistensi serta integritas dalam penegakan hukum di negara ini.
Kasus pertama menunjukkan bagaimana seorang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), merasa perlu untuk datang sendiri ke Polda Metro Jaya guna melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zaenal Maarif. SBY, yang mengaku datang sebagai warga negara biasa, menunjukkan niatnya untuk mengikuti aturan hukum yang berlaku tanpa menggunakan kekuasaannya sebagai mantan kepala negara. Ini adalah sebuah contoh bagaimana seorang warga negara, meskipun berstatus tinggi, harus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Ironisnya, seorang Presiden pun merasa perlu menegaskan bahwa ia tidak menggunakan perangkat negara untuk membela dirinya. Ini bisa diartikan sebagai sinyal bahwa ia sadar akan potensi ketidakadilan yang bisa menimpa dirinya, meskipun berada di posisi yang seharusnya mendapat perlindungan hukum maksimal.
Di sisi lain, kasus kedua menunjukkan situasi yang lebih rumit dan absurd. Benny Rhamdani, Kepala BP2MI, yang awalnya berani mengungkap sosok Mister T sebagai pengendali jaringan judi online, kini justru harus menghadapi tuduhan sebagai penyebar hoaks. Alih-alih polisi mendalami dan mengusut tuntas klaim yang diajukan Benny, mereka justru berbalik menuduhnya menyebarkan berita bohong. Ini menjadi sebuah antiklimaks yang menyakitkan bagi upaya pemberantasan kejahatan besar seperti judi online. Apalagi, Benny kemudian menarik ucapannya dan meminta maaf, dengan alasan bahwa ia tidak mengetahui identitas asli Mister T. Perubahan sikap ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai integritas proses penegakan hukum serta adanya kemungkinan tekanan atau intervensi yang membuat Benny terpaksa meralat pernyataannya.
Dua kasus ini menggambarkan dua sisi absurditas yang terjadi dalam tupoksi kepolisian. Di satu sisi, ada presiden yang harus “berjuang” melawan pencemaran nama baiknya melalui jalur hukum seperti warga negara biasa, sementara di sisi lain, upaya pemberantasan kejahatan besar seperti judi online terhenti di tengah jalan karena ketidakkonsistenan aparat hukum dalam menjalankan tugas mereka.
Sejatinya, ketika seorang presiden dicemarkan nama baiknya, penegakan hukum harus tegas dan jelas, menangkap serta memproses oknum yang terlibat. Begitu juga dalam kasus penyebaran hoaks, seharusnya aparat hukum dapat memisahkan antara fakta dan kebohongan melalui investigasi yang mendalam dan transparan, bukan sekadar menuduh tanpa bukti yang kuat. Sayangnya, kedua kasus ini memperlihatkan bahwa seringkali penegakan hukum di Indonesia justru terjebak dalam dinamika politik dan kekuasaan, sehingga melupakan esensi dari keadilan itu sendiri.
Dalam konteks ini, absurditas tupoksi kepolisian terlihat jelas: bukan karena mereka tidak melakukan tugasnya, tetapi bagaimana mereka memilih untuk menjalankannya. Pada akhirnya, kasus-kasus seperti ini menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam institusi penegakan hukum di Indonesia, agar fungsi kepolisian sebagai alat negara benar-benar beroperasi dalam koridor hukum yang adil dan tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan lain.