Andai benar Joko Widodo memalsukan ijazah demi melenggang sebagai calon Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden—maka itu bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pertunjukan adrenalin tingkat tinggi. Sebuah keberanian yang, jika terbukti, pantas mendapat tempat terhormat di halaman Guinness World Records. Sebab, tak semua orang bisa menipu satu negara dan tetap dielu-elukan.
Bayangkan: dari Solo ke Jakarta, dari Balaikota ke Istana. Semua dilalui dengan syarat administrasi yang semestinya disaring ketat oleh lembaga-lembaga negara. Tapi jika ijazahnya palsu dan bisa lolos, maka kita bukan hanya sedang bicara tentang seorang aktor yang piawai memainkan peran, melainkan juga panggung politik yang sudah bobrok sejak tirai dibuka.
Satu ijazah palsu bisa membongkar seluruh ekosistem birokrasi yang korup dan malas verifikasi. Tapi di negeri ini, periksa data bisa dianggap fitnah, dan yang mempertanyakan disebut pembenci negara.
Di era ketika literasi menjadi senjata dan klarifikasi dianggap makar, tudingan soal ijazah pun dilabeli hoaks sebelum sempat diuji. Tak perlu penyelidikan, cukup dengan pernyataan pejabat: “Sudah diverifikasi.” Seolah stempel negara adalah segel kebenaran mutlak. Padahal, kita tahu: dalam sejarah republik ini, tak sedikit kebenaran yang dikubur hidup-hidup oleh kepentingan.
Tapi mari berpikir sejenak—jika ini hanya sekadar rumor, mengapa gugatan terus dihalangi, data tak dibuka, dan yang bertanya dipidanakan? Bukankah lebih sederhana untuk menyodorkan bukti otentik dan menyudahi debat?
Namun, mungkin memang bukan itu tujuannya. Sebab dalam politik, ilusi seringkali lebih berguna dari fakta. Legenda lebih menjual daripada dokumen. Maka, jika benar semua ini sandiwara besar, Jokowi bukan hanya Presiden, tapi juga maestro panggung politik modern.
Dan kita? Kita adalah penonton yang bersorak setiap kali tirai dibuka, tanpa pernah benar-benar peduli siapa yang menulis naskahnya.