Senyuman adalah bahasa universal yang sering kali mengandung makna yang lebih dalam dibandingkan sekadar ekspresi wajah. Pada Senin (13/1/2025), Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, melemparkan senyuman kepada awak media saat keluar dari Gedung KPK setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus suap Pergantian Antarwaktu (PAW) dan perintangan penyidikan buronan Harun Masiku. Senyuman itu, meskipun sederhana, memancing banyak tafsir: apakah itu tanda optimisme, strategi komunikasi, atau upaya menjaga citra di tengah badai hukum?
Hasto menjalani pemeriksaan selama 3,5 jam di KPK, dimulai pukul 10.00 WIB. Usai pemeriksaan, ia memilih untuk tidak memberikan pernyataan, menyerahkan tugas tersebut kepada kuasa hukumnya, Maqdir Ismail. Sikap diam ini seakan menjadi pilihan yang cermat di tengah panasnya sorotan publik. Dalam dunia politik, sikap dan gestur seperti senyuman Hasto sering kali mengandung pesan simbolis, terutama saat seseorang berada dalam situasi sulit.
Senyuman di Tengah Krisis
Senyuman Hasto bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketenangan dalam menghadapi tekanan. Dalam pidato singkat sebelum pemeriksaan, ia meminta kader dan simpatisan PDI-P untuk tetap tenang dan mendoakan yang terbaik. Sikap ini mencerminkan upaya seorang pemimpin untuk menjaga soliditas partai di tengah krisis. Senyumannya, yang muncul setelah pemeriksaan, bisa jadi adalah cara untuk menunjukkan keyakinan bahwa ia mampu menghadapi persoalan hukum ini dengan baik.
Namun, ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan. Dalam konteks hukum, sikap tenang dan senyuman kerap dianggap sebagai strategi untuk membangun persepsi publik. Seolah-olah, pesan yang ingin disampaikan adalah: “Saya percaya diri dan tidak bersalah.” Ini bukan hal baru di dunia politik, di mana citra sering kali menjadi alat utama untuk meredam dampak negatif sebuah kasus.
Upaya Praperadilan sebagai Langkah Hukum
Selain senyum, langkah hukum yang diambil Hasto melalui gugatan praperadilan juga menjadi sorotan. Melalui kuasa hukumnya, ia menyampaikan surat kepada pimpinan KPK untuk mempertimbangkan proses praperadilan yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Langkah ini menggambarkan sikap defensif sekaligus menyerang, mencoba memanfaatkan celah hukum untuk mengamankan posisi di tengah kasus yang membelitnya.
Namun, langkah ini pun tidak lepas dari kritik. Gugatan praperadilan kerap dianggap sebagai taktik mengulur waktu, terutama bagi tersangka kasus besar. Dalam konteks ini, senyuman Hasto bisa jadi adalah upaya untuk menampilkan keyakinan bahwa strategi hukum yang diambil akan berhasil.
PDI-P di Tengah Badai
Kasus ini tidak hanya menyorot Hasto sebagai individu, tetapi juga partai yang ia wakili, PDI-P. Sebagai partai penguasa, PDI-P berada dalam sorotan tajam, terutama terkait dugaan keterlibatan sejumlah kadernya dalam kasus hukum. Permintaan Hasto kepada kader dan simpatisan untuk tetap tenang adalah bentuk kontrol kerusakan (damage control) di tengah badai yang menghantam partai tersebut.
Namun, pertanyaannya, apakah senyuman Hasto cukup untuk meredakan keraguan publik terhadap komitmen partai ini dalam memberantas korupsi? Dalam politik, persepsi publik sering kali lebih menentukan daripada fakta di pengadilan.
Kesimpulan: Simbol atau Strategi?
Senyuman Hasto saat keluar dari Gedung KPK adalah gambaran kompleksitas komunikasi politik. Ia bisa dilihat sebagai simbol ketenangan, strategi untuk menjaga citra, atau bahkan sebagai refleksi dari keyakinannya terhadap proses hukum yang ia jalani. Namun, publik tentu tidak akan hanya berhenti pada senyuman itu. Mereka menantikan transparansi dan keadilan dalam penyelesaian kasus ini.
Bagi seorang politisi, setiap gerak dan ekspresi memiliki konsekuensi. Senyuman Hasto mungkin menenangkan sebagian orang, tetapi bagi banyak lainnya, itu adalah pengingat bahwa keadilan harus tetap ditegakkan, apa pun yang terjadi di balik layar politik.