Oleh : Malika Dwi Ana
Arab Spring (2010-2012) mengguncang Timur Tengah, menumbangkan diktator, memicu perang saudara, dan mengubah peta geopolitik. Kini, Asia Spring 2025—pemberontakan Gen Z di Indonesia, Nepal, Malaysia, Singapura, hingga Australia, kini meluas ke Argentina, Ekuador, Prancis dan Inggris—menimbulkan pertanyaan: apakah ini efek domino serupa Arab Spring, atau krisis lokal dengan implikasi global? Dengan 51 korban tewas di Nepal, 10+ di Indonesia, kerusuhan rasis di Australia dan Inggris, serta kemarahan anti-austerity di Amerika Latin, sepertinya ini bukan sekadar efek domino. Ini krisis global yang lahir dari elit korup, represi digital, dan kebencian Gen Z terhadap ketidakadilan.
Gen Z Berontak: Dari Asia ke Dunia
Gen Z, dicekik pengangguran (20-25%), korupsi, dan krisis pasca-COVID, membakar jalanan via TikTok, Discord, Reddit, dan X, meniru Twitter di Arab Spring. Tren “Nepo Babies” memperlihatkan muka busuk elit, memicu amuk global.
– Indonesia: Tunjangan DPR 42 kali upah minimum picu kerusuhan Jakarta (10+ tewas), anjlokkan rupiah, dan paksa Prabowo potong tunjangan sambil angkat kroni. Solidaritas ASEAN via Grab/Gojek tunjukkan api semangat regional.
– Nepal: Larangan TikTok dan Instagram picu “revolusi internet” (51 tewas, 1.300 luka), jatuhkan PM Oli dan Presiden Paudel. Sushila Karki jadi PM interim, tapi tentara kuasai keamanan.
– Malaysia: Protes anti-Anwar atas skandal 1MDB dan RUU Procurement hadapi represi polisi. Himpunan PAS Oktober ancam ledakan.
– Singapura: Protes kecil soal senjata ke Israel dan hukuman mati terkendali, tapi travel warning ke Indonesia/Nepal ungkap ketakutan akan domino efek.
– Australia: “March for Australia” (100.000+ di Sydney) tuntut stop imigrasi, picu bentrok neo-Nazi di Melbourne (6 ditangkap). Vigil diaspora Nepal sambungkan Asia Spring ke Oseania.
– Argentina: Kekalahan Milei di pemilu Buenos Aires (7 September) akibat austerity dan skandal korupsi saudarinya Karina memicu protes (28 Agustus), dengan pelemparan batu dan gas air mata ke jurnalis. Mogok buruh (10 April) tuntut pensiun dan obat gratis; Milei ban perawatan gender dan tolak WHO, picu kemarahan masyarakat.
– Ekuador: Bentrok di Quito (12 September) tuntut Noboa mundur atas pemecatan pegawai dan kenaikan diesel ($1.80 ke $2.80/galon). Gas air mata dipakai untuk hadapi ratusan demonstran; Noboa tekan Mahkamah Konstitusi, tapi CONAIE serang undang-undang “fasis”.
– Prancis: Protes “Block Everything” (197.000–250.000 orang) lawan anggaran 2026 dan korupsi tumbangkan PM Bayrou. Macron sebut “ancaman eksistensial,” mirip Yellow Vests.
– Inggris: Rally anti-imigrasi “Unite the Kingdom” (150.000 di London) bentrok polisi (26 luka, 25+ ditangkap); narasi rasis “Erosi Britania” diperkeruh Elon Musk. Protes pro-Palestina (900+ ditangkap) dan counter-protes anti-rasis (5.000) makin chaos.
Analisa Geopolitik: Arab Spring vs. Asia Spring Global
1. Domino atau Elit Busuk? Asia Spring, kini global, tampak meniru Arab Spring via media sosial (Nepal ke Argentina, vigil di Australia). Tapi narasi pecah: korupsi (Indonesia), digital (Nepal), austerity (Argentina/Ekuador), rasisme (Inggris/Australia). Elit gagal—Prabowo main kroni, Milei ban gender, Noboa potong subsidi—cuma tunda ledakan. Represi (gas air mata di Quito, London) dan larangan TikTok (Nepal) mirip taktik Suriah yang mati-matian pertahankan kuasa.
2. Kekuatan Global:
– China: Belt and Road di Nepal/Indonesia terancam; Ekuador/Argentina tolak globalisasi, lemahkan pengaruh Beijing.
– AS/Barat: IMF selamatkan Argentina ($20 miliar), tapi Milei lawan UN, Noboa anti-kriminalitas abaikan rakyat, Inggris far-right ancam AUKUS.
– India: Nepal jadi arena rebutan dengan China, risiko krisis Himalaya.
3. Risiko Nyata:
– Ekonomi: Indonesia goyahkan ASEAN, Argentina/Ekuador inflasi LatAm, Inggris/Australia rusak citra multikultural, ancam miliaran dolar.
– Keamanan: Kekerasan (Nepal 51 tewas, Inggris 26 polisi luka, Quito chaos) buka pintu kudeta atau perang sipil.
– Polarisasi: Rasisme Inggris/Australia dan austerity Argentina/Ekuador picu migrasi massal, destabilisasi global.
Jadi, Asia Spring 2025 bukanlah Arab Spring 2.0, tapi lebih ke “Gen Z Armageddon” atau “Gen Z Awakening” yang terfragmentasi, didorong oleh krisis lokal dan internet—pemberontakan global anti-elit, korupsi, dan austerity, didorong internet. Dari Nepal ke Quito, London ke Sydney, Gen Z bakar narasi ketidakadilan, elit korup dan banyaknya ketimpangan. Berbeda dengan Arab Spring yang mengubah Timur Tengah, Asia Spring masih terkendali, tetapi resikonya nyata: instabilitas ASEAN, persaingan China-India, dan polarisasi di Australia. Pemerintah yang represif atau lamban merespons, seperti larangan media sosial di Nepal, dapat memicu kekacauan lebih luas. Dengan 80% pemuda Asia online, Gen Z adalah wildcard geopolitik atau bom waktu. Ini bukan percikan—ini ledakan global yang menanti. Asia Spring belum sebesar Arab Spring, tapi benih krisis global telah tertanam.(MDA)
TerasMalawu, 14092025
Oleh : Malika Dwi Ana





















