Pipiet Senja
“Membaca buku ini membangkitkan semangat kami untuk banyak
merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang alpa dari ingatan kami.
Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami melalui penamu yang
tajam.” (Almarhumah Ustazah Yoyoh Yusroh)
YPK: Kampus Seniman Bandung
Pipiet Senja
Anno,1976
Pada saat-saat senggang dan sehat, aku selalu berusaha keras meningkatkan
pengetahuan, wawasan tentang dunia sastra dan budaya. Semampuku tentunya,
wong namanya juga otodidak. Saat-saat inilah aku butuh sosialisasi, bergaul dengan
komunitas sesama penulis.
Aku bergabung dengan sebuah forum penyair muda Bandung. Bergaul dengan
sesama penyair muda, penulis pemula menerbangkan aku hinggap di suatu tempat
bernama YPK. Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan Bandung.
Ya, di sinilah, aku sering menemukan para seniman dan kebudayaan kota
kembang kongkow-kongkow. Untuk beberapa saat lamanya aku hampir menganggap
YPK sebagai kampus atau kawah candradimuka, tempat di mana aku bisa
mendiskusikan karya-karyaku, ikut membedah karya rekan penulis lainnya.
Komunitas penyair muda itu secara berkala menyelenggarakan lesehan.
Acaranya diskusi interaktif, membahas karya-karya anggota dan mengundang para
penyair senior untuk ditanggap pemikirannya. Tempatnya bergiliran di rumah para
anggota. Rumah-rumah para seniman senior seperti; Saini KM, Yakob Sumarjo,
Wilson Nadeak, Remy Sylado, Otih Rostooyati dan lainnya, acapkali dijadikan pusat
narasumber.
Pernah juga rumah kami dipakai acara lesehan itu. Gilirannya bertepatan
dengan hari ulang tahunku yang ke-19.
“Tahu gak, Piet,” kata sohibku Yetty Poerba. “Kali ini rumahmu bakal
kedatangan para senior kondang kita.”
“Begitu?”
‘Iya, lihat saja nanti. Ada Mas Wing Kardjo dan Bang Leon Agusta dari Jakarta.
Dibawa oleh Bang Remy Sylado atau Bang Emanuel Malela, barangkali…”
Dan Rustandi Kartakusumah!
Gustiii, ini dia pengarang idolaku di masa kecil. Karya-karyanya yang sempat
bikin aku mengorupsi uang buat membeli minyak tanah itu, wuaduuuh… berasa mimpi
euy!
Suasananya menjadi semarak, merambat pula menjadi agak panas. Wing
Kardjo dan Leon Agusta punya pemikiran dan konsep budaya yang berseberangan
dengan Rustandi Katakusumah. Tahu-tahu para senior kondang itu baku debat.
Lantas suara menjadi meninggi, meninggi, dan semakin meninggi. Lantas para
penyair muda ikut nimbrung. Diro Aritonang, Yessy Anwar, Uddin Lubis, Karno
Kartadibrta, Aam Muharam, Deddy Effendi dan banyak lagi…
Oh, ya, penyair muda ceweknya hanya berdua, aku dan Yetty Poerba. Kala itu
kaum hawa masih langka merambah dunia kepenulisan.
“Pssst, apa saja yang kalian omongkan itu? Kedengarannya lebih-lebih dari
barak prajurit? Kayak mau berangkat perang saja!” komentar Bapak yang sempat
melambai dari kamarnya di lantai atas.
“Ngng… gak tahu juga tuh, Pak, tapi tenang sajalah,” sahutku jadi mulai pusing
sendiri.
Sudah bolak-balik menyuguhi, eeeh, masih juga belum selesai perdebatan.
Usia para seniman kondang itu jelas sebaya dengan Bapak. Namun, karakter mereka
tentu saja bersebrangan dengan karakter seorang prajurit.
Akhirnya acara ditutup dengan pembacaan puisi masing-masing. Leon Agusta
membacakan puisinya yang manis. Begitu pula Wing Kardjo. Rustandi Kartakusumah
membacakan puisi karya Ayip Rosidi, sahabatnya.
Itulah kado ultah ke-19 yang amat mengesankan. Kurasa yang pertama dan
terakhir. Karena sebelum dan sesudahnya, aku tak pernah merayakan hari ulang
tahun, selain dengan bersujud syukur kepada Sang Maha Pengasih. Atas
Kemurahan-Nya yang tak pernah berhenti dilimpahkan kepadaku.
Masih tentang YPK Bandung dengan segala nostalgia seninya. Aku takkan
melupakan saat-saat yang sarat dengan sensasi berkesenian ini. Berseliweran wajah-
wajah itu di pelupuk mataku.
Mang Pei, seniman kecapi tunanetra, tetapi punya bini empat dan suka
mangkal di kakilima. Mang Duyeh, tukang bandrek bajigur yang suka memberi utang
kepada para seniman bokek. Para pesinden berpinggul besar dan kebaya brukatnya
dengan seronok.
Para dalang muda yang suka berimprovisasi, keluar dari pakem pewayangan.
Para musisi berambut kribo, gondrong yang suka petantang-petenteng bawa gitar dan
pamer kebolehan. Para pelukis yang berambut gondrong yang suka bicara tentang
aliran abstrak, impressionisme. Para penjaja cinta yang kabarnya tengah malam nan
senyap suka merambah ke gedung kesenian.
Uddin Lubis mengajakku ikut dalam dunia teater. Percaya tidak, si Drakuli yang
selalu pucat pasi ini direkrutnya sebagai asisten sutradara? Dari dunia teaterlah aku
merasa menemukan percaya diri.
Sebelum pagelaran teater yang diberi nama Teater Braga, biasanya Uddin
Lubis meminta kami membacakan puisi. Aku, Yetty Poerba, Yessy Anwar, Diro
Aritonang yang suka tampil baca puisi.
Terkadang pementasan teaternya dianggap lumayan sukses. Tapi acapkali
habis-habisan dikritik para pengamat teater Bandung. Kulihat Uddin Lubis nyaris
stres. Memang sebuah kegiatan yang sangat banyak menguras energi. Tanpa
penghasilan seimbang dengan energi yang dikeluarkan. Begitulah dunia teater ketika
itu.
“Bikin novel, Pipiet,” cetus Uddin Lubis suatu kali di tengah kesibukannya
melatih anak-anak berimprovisasi. “Honornya gede. Langsung dikasih begitu
diterbitkan.”
“Apa aku bisa nulis novel ya Bang? Karya-karyaku kan kebanyakan dibilang
kacangan. Bahasaku bukansastra….”
“Apa itu karya kacangan? Bah! Menulis sih nulis saja, kamu bisa menulis,
lakukan saja! Usahlah didengar omongan orang-orang itu!” cerocosnya
menyemangati.
Jika kemudian aku bikin novel, bukan hanya akibat dikompori marga Lubis itu.
Aku pikir, lebih dikarenakan tuntunan kebutuhan honorariumnya. Keadaan ekonomi
keluarga masih terbilang morat-marit. Di rumah ada tiga orang anggota keluarga yang
menjadi pasien tetap. Aku, Ry, ditambah Mak yang sering bolak-balik dirawat dengan
macam-macam keluhan.
Penyakit Mak lebih cenderung psikosomatik, selalu merasa sakit. Mak selalu
merasa bergantung kepada dokter dan obat-obatan. Sementara adik-adik
membutuhkan banyak biaya untuk sekolah. Tak heranlah kalau kemudian Mak terbelit
utang kepada rentenir.
Diam-diam aku mengintip kreativitas seorang Uddin Lubis dalam menulis novel.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang wartawan tetap, melatih anak-anak
berteater, lelaki berumur 30-an itu pun taktiktok mengetik lembar demi lembar
novelnya di sudut ruangan YPK.Ceritanya tentang perjalanan seorang kuli tinta ke
kawasan pesisir utara, Karawang, Subang. Tentang pesinden, tentang warung
remang-remang. Gaya bahasanya amat vulgar dan terkesan porno, weeeiiits!
“Aku takkan menulis novel macam itu,” gumamku membatin. Beberapa bulan
aku tak tak pernah muncul di YPK. Selain sibuk menghindari kejaran dokter,
keharusan ditrasfusi, aku menulis novel yang dberi judul Biru Yang Biru.
“Bagaimana, jadi kamu bikin novelnya?” tanya pemimpin Teater Braga itu suatu
hari.
“Alhamdulillah, sudah selesai, Bang. Barusan aku sudah serahkan ke penerbit
yang Abang bilang itu.”
“Bah?!” sesaat dia tampak terbengong. “Hebatlah kau! Kalau aku masih
berantakanlah!”
“Yah, bagaimana tidak fokus. Macam-macamlah garapan Abang itu!” kritikku
mulai terbawa logatnya yang khas, Batak.
“Iya, tapi mau bagaimana pula ini? Beginilah kerjanya wartawan, seniman,
campur aduk!” dengusnya terdengar mengeluh.
@@@
Karyaku Direkomendasikan Titie Said
Pipiet Senja
Bersambung….Bagaimana Aku Bertahan: Menulislah! (2)