Dalam beberapa minggu terakhir, pemandangan baliho bertuliskan “Terima Kasih Jokowi” semakin marak terlihat di berbagai sudut kota. Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat seperti penghormatan dari rakyat kepada pemimpinnya. Namun, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pemasangan baliho-baliho ini? Apakah ini benar-benar ekspresi tulus dari rakyat atau sekadar upaya terencana oleh lingkaran dalam Jokowi untuk mengangkat citra yang sedang runtuh?
Pertama-tama, mari kita tinjau narasi di balik baliho ini. Ungkapan “terima kasih” biasanya datang dari bawah, dari rakyat yang merasa puas dengan kepemimpinan seorang tokoh. Namun, baliho-baliho ini tampaknya tidak menggambarkan kenyataan di lapangan. Kinerja Jokowi, yang dalam banyak hal dinilai amburadul, bertolak belakang dengan pesan yang ingin disampaikan baliho tersebut. Alih-alih dipandang sebagai pemimpin yang berhasil, Jokowi justru terus dikritik atas kegagalan dalam menangani berbagai sektor, mulai dari ekonomi hingga lingkungan, bahkan hingga persoalan hukum dan HAM.
Kinerja Amburadul dan Propaganda Terkemas Rapi
Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi sering dianggap sebagai pemimpin yang lebih memprioritaskan pencitraan daripada hasil nyata. Proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan infrastruktur masif dijadikan sorotan utama, sementara isu fundamental seperti pendidikan, kesejahteraan sosial, dan ketimpangan ekonomi terus memburuk. Di saat rakyat tengah bergulat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi, baliho “terima kasih” terasa seperti ejekan langsung kepada masyarakat.
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan pertama kalinya Jokowi menggunakan strategi “membalikkan kenyataan” dalam komunikasi politiknya. Dia sering kali mempromosikan hal-hal yang seolah-olah sukses besar, padahal kenyataan di lapangan justru berkebalikan. Salah satu contoh konkret adalah klaim keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan atau meningkatkan lapangan kerja, padahal data menunjukkan lonjakan angka pengangguran dan ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Propaganda semacam ini mirip dengan strategi narsistik, di mana pencitraan lebih diutamakan daripada prestasi nyata.
Gejala Narsistik yang Mengakar
Pemasangan baliho dengan pesan seperti ini juga menunjukkan tanda-tanda narsisme dalam politik Jokowi. Narsisme dalam konteks kepemimpinan merujuk pada kecenderungan untuk memusatkan perhatian pada diri sendiri, bahkan hingga memanipulasi publik untuk percaya bahwa pemimpin tersebut selalu benar atau hebat. Baliho-baliho ini tampaknya lebih merupakan bagian dari mekanisme untuk memoles citra Jokowi yang sedang merosot, daripada representasi dari apresiasi tulus rakyat.
Apa yang terjadi di balik pemasangan baliho-baliho tersebut? Kemungkinan besar, ini adalah upaya terorganisir dari lingkaran politik Jokowi untuk membangun citra positif di tengah kekecewaan publik yang terus meningkat. Penggunaan propaganda seperti ini untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijakan bukanlah hal baru dalam dunia politik. Namun, dalam kasus Jokowi, hal ini seolah-olah telah menjadi kebiasaan. Narasi yang disampaikan dalam komunikasi politiknya sering kali berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi rakyat.
Kesimpulan: Propaganda Berbalut Narsisme
Baliho-baliho “Terima Kasih Jokowi” yang kini bertebaran di berbagai wilayah jelas bukan cerminan dari kehendak rakyat, melainkan agenda terselubung dari lingkaran dekatnya. Ini adalah manifestasi dari gaya kepemimpinan narsistik, di mana pencitraan lebih diutamakan daripada kenyataan di lapangan. Selama kinerjanya terus bertolak belakang dengan pesan yang disebarkan, baliho-baliho semacam ini hanya akan menjadi pengingat akan betapa jauhnya Jokowi dari realitas kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Sesuatu yang sungguh memprihatinkan di tengah kepemimpinan yang semakin kehilangan arah.