FusilatNews – Swasembada, kata yang dulu menjadi mantra pembangunan Orde Baru, kini kembali relevan dalam bayang-bayang krisis global dan perang antar-negara. Dunia tengah panik soal pangan dan sandang. Cuaca ekstrem, konflik geopolitik, dan ketimpangan distribusi membuat banyak negara tak lagi bisa bertumpu pada pasar dunia. Ketika ekspor gandum India dibatasi, dan harga beras Thailand melonjak, dunia paham: swasembada bukan lagi kebijakan usang—tapi soal bertahan hidup.
Indonesia, dengan 275 juta penduduk dan bonus demografi yang belum tentu terulang, berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, negeri ini masih mengimpor garam dari Australia, beras dari Vietnam, kedelai dari Amerika Serikat, dan daging dari Brasil. Di sisi lain, ia memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi negara mandiri: tanah luas, sinar matahari berlimpah, tenaga kerja melimpah, dan laut sepanjang khatulistiwa.
Bayangkan jika seluruh kebutuhan pangan dan sandang rakyat Indonesia dipenuhi oleh hasil negeri sendiri—tanpa satu butir pun nasi impor, tanpa sehelai pun kapas dari luar. Maka 275 juta perut yang kenyang dan berpakaian dari jerih payah sendiri bukan hanya akan menjadi lumbung kekuatan nasional, tapi juga magnet kekaguman dunia. Indonesia akan menjadi pasar terbesar setelah Cina—tapi bukan hanya sebagai pembeli, melainkan produsen dan penentu harga.
Inilah paradoks kita hari ini: negara agraris yang bergantung pada pangan impor. Negara maritim yang kekurangan garam. Negara tropis yang tak mampu menanam kapas. Bukan karena tanah ini tandus, atau petaninya malas. Tapi karena kebijakan publik terlalu sibuk membangun yang tampak—jalan tol dan ibu kota baru—sementara fondasi kedaulatan ekonomi digerogoti importir dan kartel pangan.
Swasembada bukan mimpi, ia hanya butuh kemauan politik. Kita punya bukti sejarah: kala Indonesia mampu ekspor beras ke Sri Lanka di awal 1980-an, kala Bulog tak hanya jadi gudang beras, tapi juga penstabil harga dan pelindung petani. Hari ini, tantangannya lebih kompleks, tapi teknologinya lebih canggih. Sistem pertanian presisi, pupuk organik, diversifikasi pangan, hingga digitalisasi rantai pasok—semuanya tersedia, tinggal kemauan memeluknya.
Jika Indonesia mampu memenuhi kebutuhan sendiri, dunia tak akan memandang kita hanya sebagai negara berkembang dengan kekayaan alam melimpah. Tapi sebagai raksasa ekonomi baru—bukan karena ekspor nikel mentah, tapi karena berhasil menghidupi 275 juta rakyatnya dengan tangan sendiri.
Swasembada bukan soal nostalgia. Ia adalah jalan menuju kedaulatan, martabat, dan posisi tawar di dunia. Ketika seluruh rakyat bisa makan tanpa rasa takut kekurangan, berpakaian dari hasil industri sendiri, dan bekerja di tanah sendiri, maka Indonesia tak sekadar menjadi besar—tapi dihormati.