Dalam setiap demokrasi yang sehat, keseimbangan kekuasaan, atau yang dikenal sebagai check and balances, menjadi kunci bagi jalannya pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun, bagaimana jika seluruh kekuatan politik utama di sebuah negara, termasuk partai-partai besar seperti PDIP, bergabung ke dalam satu koalisi besar bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM)? Apakah masih ada ruang untuk oposisi? Bagaimana nasib demokrasi ketika hampir semua partai berada di satu kubu?
1. Hilangnya Oposisi: Demokrasi Tanpa Pengawasan
Koalisi besar yang mencakup mayoritas partai politik, seperti PDIP dan KIM, akan menghadirkan satu tantangan utama: hilangnya oposisi yang efektif. Dalam demokrasi, oposisi berfungsi sebagai pengawas kebijakan pemerintah, menawarkan alternatif, dan memberikan kritik yang membangun. Ketika oposisi ini melemah atau bahkan tidak ada sama sekali, kekuasaan eksekutif dapat berjalan tanpa hambatan, mengakibatkan ketidakseimbangan yang signifikan.
Pemerintah yang berjalan tanpa oposisi akan cenderung mengambil keputusan sepihak tanpa perdebatan publik yang sehat. Dengan kata lain, pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif hilang, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.
2. Demokrasi Semu: Legitimasi Tanpa Esensi
Secara formal, sebuah negara yang masih menjalankan pemilu dan memiliki sistem multipartai bisa disebut demokratis. Namun, ketika semua partai utama bergabung dalam satu koalisi, esensi demokrasi itu sendiri berkurang drastis. Demokrasi semu (pseudo-democracy) dapat muncul, di mana pemilihan umum hanya menjadi formalitas, sementara kekuasaan terpusat pada satu kelompok politik besar tanpa ada tantangan berarti.
Jika PDIP bergabung dengan KIM, kita mungkin masih melihat pemilu, tetapi kompetisi politik—yang merupakan salah satu fondasi demokrasi—akan menghilang. Rakyat kehilangan pilihan politik yang nyata, dan kebijakan akan diputuskan oleh satu kelompok besar tanpa adanya perdebatan atau kritik yang kuat.
3. Check and Balances yang Lumpuh
Demokrasi yang sehat mengandalkan check and balances, di mana cabang-cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) saling mengawasi dan membatasi satu sama lain. Namun, dalam situasi di mana partai-partai besar berada dalam satu koalisi, fungsi check and balances menjadi lumpuh. Parlemen, yang seharusnya menjadi pengawas eksekutif, malah akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah, karena mayoritas anggota parlemen berasal dari koalisi yang sama.
Tanpa adanya check and balances yang efektif, kebijakan-kebijakan pemerintah bisa berjalan tanpa pengawasan yang ketat, membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
4. Potensi Menuju Otoritarianisme
Situasi di mana tidak ada oposisi atau oposisi hanya sekadar simbolis bisa mengarah pada otoritarianisme terselubung. Pemerintah yang kuat tanpa adanya tantangan akan cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan, mengambil keputusan tanpa konsultasi publik, dan mengabaikan suara-suara kritis. Meskipun masih terlihat ada mekanisme demokratis seperti pemilu, kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu kubu politik menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk benar-benar memilih arah negara.
Baca juga : https://fusilatnews.com/3-figur-ex-pdip-masuk-kabinet-prabowo-dasco-masih-tunggu-keputusan-megawati/
Dalam skenario ini, kita bisa melihat tanda-tanda menuju otoritarianisme, di mana kekuasaan berjalan tanpa batasan atau pengawasan. Meskipun mungkin belum sampai pada tahap negara totaliter, langkah-langkah menuju sentralisasi kekuasaan akan semakin jelas terlihat.
5. Apakah Ini Masih Demokrasi?
Pertanyaan yang wajar muncul: jika semua partai politik besar bersatu dalam satu koalisi, apakah sistem ini masih bisa disebut demokrasi? Secara teknis, ya. Pemilu tetap ada, partai-partai tetap eksis, dan ada konstitusi yang dijalankan. Namun, tanpa oposisi yang nyata dan dengan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu koalisi besar, esensi demokrasi yang sesungguhnya hilang.
Sistem ini mungkin lebih mirip dengan sistem satu partai, yang biasa ditemukan di negara-negara otoriter atau komunis, di mana tidak ada tantangan nyata terhadap kekuasaan. Oposisi, jika ada, hanya bersifat simbolis dan tidak memiliki kekuatan politik untuk benar-benar menantang kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Kesimpulan: Demokrasi dalam Bahaya
Jika PDIP bergabung dengan KIM dalam satu koalisi besar, demokrasi Indonesia menghadapi ancaman serius. Hilangnya oposisi, lumpuhnya check and balances, serta potensi menuju otoritarianisme adalah risiko-risiko yang muncul dari koalisi semacam ini. Meskipun secara teknis masih disebut demokrasi, kenyataannya sistem ini akan lebih menyerupai demokrasi semu, di mana pilihan politik rakyat dibatasi dan kekuasaan terpusat pada satu kelompok dominan.
Untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup dan sehat, perlu ada ruang bagi perbedaan pendapat, kritik, dan alternatif politik yang nyata. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi nama tanpa makna, dan rakyat kehilangan hak untuk benar-benar memilih masa depan mereka sendiri.