Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Sudah lama nama Budiman Sudjatmiko, eks pendiri sekaligus Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD), tak terdengar di ruang publik. Padahal, tokoh yang dulu dikenal vokal di jalanan ini sempat menjadi salah satu penggagas dan perumus UU Desa saat bergabung dengan PDIP, sebelum akhirnya ia berbelok mengikuti jejak politik Jokowi.
Kini, Budiman menjabat sebagai Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Status barunya sebagai pejabat tinggi negara praktis menempatkannya di lingkaran Istana. Namun, di tengah gelombang kerusuhan yang sejak 25 April lalu meletup di Jakarta dan mulai merembet ke kota-kota lain di Jawa maupun luar Jawa, suara Budiman justru senyap.
Padahal, akar kerusuhan ini tak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi—kemiskinan, rendahnya pendapatan per kapita, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga minimnya lapangan kerja. Situasi rakyat kecil yang semakin terhimpit menjadikan mereka mudah tersulut oleh kesenjangan sosial dan sikap angkuh para elit yang hidup bergelimang harta.
Sebagai pejabat yang mengemban tugas besar mengentaskan kemiskinan, wajar jika publik menuntut komentar sekaligus pertanggungjawaban Budiman. Apa agenda dan capaian lembaga yang ia pimpin sejauh ini? Bagaimana strategi konkret untuk menekan kemiskinan yang justru kini tampak sebagai bara kerusuhan?
Apalagi Budiman sejak lama dikenal membawa semangat sosialisme, kerap menyuarakan perjuangan wong cilik. Kini, setelah dipercaya masuk dalam kabinet Presiden Prabowo (KMP), seharusnya lebih mudah baginya merealisasikan ide-ide itu dalam kebijakan nyata.
Publik berhak tahu secara transparan hasil kinerja seorang pejabat publik. Evaluasi diperlukan, agar Budiman tak hanya menjadi “mantan aktivis jalanan yang kini duduk nyaman di istana”, melainkan betul-betul menunjukkan prestasi dalam melaksanakan tupoksinya—bersinergi dengan kementerian terkait—demi peningkatan ekonomi rakyat dan tercapainya kesejahteraan wong cilik.























