OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Perum BULOG adalah Perusahaan Umum (Perum) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang logistik pangan. Perum BULOG didirikan pada 21 Januari 2003 berdasarkan:
– Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG,
– Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003,
– Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum BULOGÂ .
Pendirian Perum BULOG tidak lepas dari keberadaan lembaga sebelumnya yaitu Badan Urusan Logistik (BULOG). Sebab, Perum BULOG merupakan hasil peralihan kelembagaan atau perubahan status hukum Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Perusahaan Umum (Perum).
Melakoni usianya ke 21 tahun, Perum Bulog kini semakin diberi peran nyata untuk tampil sebagai lembaga pangan yang semakin berkualitas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Senafas dengan fungsi ganda yang diembannya, baik dalam mengembangkan peran bisnis atau peran sosial, Perum Bulog mestinya dapat tampil menjadi operator pangan yang bermartabat.
Perjalanan Perum Bulog selama ini, baik ketika Bulog masih menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) mau pun sekarang sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga pangan ini selalu memposisikan diri sebagai “sahabat petani”. Operator pangan ini akan berkiprah seiring dengan “felt need” para petani.
Bila kita selisik apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan petani, lalu kita rangkaikan dengan hak petani untuk hidup sejahtera, tentu saja kehadiran dan keberadaan Perum Bulog menjadi cukup menentukan untuk tercapainya tujuan diatas. Terlebih jika hal ini kita kaitkan dengan hasil pertemuan antara Menteri Pertanian dan Menteri BUMN baru-baru ini.
Dalam pertemuan koordinasi kedua Menteri diatas, khususnya guna membangun sinergi dan kolaborasi yang lebih berkualitas, telah disepakati, Perum Bulog ditugasi untuk menjadi off taker guna membeli hasil produlsi para petani. Menghadapi musim panen nanti, Perum Bulog sudah harus siap membeli sekaligus menampung gabah dan beras petani, dengan harga yang memberi untung maksimal bagi petani.
Sebagai off taker yang berpihak ke petani, Perum Bulog tentu harus menyiapkan diri secara matang, baik yang berkenaan dengan kesiapan anggaran atau kesiapan sumber daya manusianya. Ini penting diingatkan, mengingat tanpa dukungan anggaran yang memadai dan sumber daya manusia berkualitas, omong kosong kita akan mampu meraih tujuan yang penuh dengan kemuliaan tersebut.
Dalam pelaksanaannya di.lapangan, Perum Bulog perlu pandai-pandai membaca situasi dan kondisi yang ada. Bagaimana pun, ke dua fungsi yang melekat dalam tubuh Perum Bulog, mestinya dapat berjalan beriringan, tanpa harus melemahkan fungsi salah satunya. Perum Bulog tetap mengembangkan fungsi bisnis, namun juga mampu melaksanakan tanggung-jawab sosialnya selaku perusahaan plat merah.
Sebenarnya, kemauan politik untuk memposisikan Perum Bulog sebagai off taker membeli gabah dan beras petani, telah mengemuka sejak lama. Sayang dalam perkembangannya, kemauan politik tersebut tidak pernah ditindak-lanjuti oleh tindakan politiknya. Bila tidak disiapkan dengan matang, dalam penerapannya di lapangan, Perum Bulog bakal cukup kesulitan berhadapan dengan bandar, pengepul dan tengkulak.
Itu sebabnya, ketika terdengar lagi suara regulator pangan yang ingin menjadikan Perum Bulog sebagai off taker, tidak boleh tidak, operator pangan harus siap segala rupsnya. Kita percaya dibawah kepemimpinan Kang Wahyu dan pasulannya, Perum Bulog tidak akan menyia-nyiakan penugasan yang cukup mulia dan penuh dengan kehormatan ini.
Semangat Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada pangan dalam tempo yang sesingkat-singkat nya itu, tentu tidak dimaksudkan hanya berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian semata. Di benak Prabowo pasti terlukis sebuah pemikiran, swasembada pangan yang ingin diraih, dibarengi pula dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan petaninya.
Tugas kita bersama adalah strategi dan langkah cerdas apa yang sebaiknya kita siapkan agar pencapaian swasembada pangan ini juga diikuti dengan semakin meningkatnya kesejahteraan petani. Inilah “pe-er” besar kita yang butuh pembuktian di lapangan. Kita ingin slogan menggenjot produksi berbarengan dengan meningkatnya kualitas hidup petaninya.
Salah satu penyebab, mengapa para petani padi susah untuk berubah nasib, karena saat musim panen berlangsung, harga jual gabah di tingkat petani selalu anjlok. Banyak faktor yang membuat hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Pertama, bisa jadi karena Pemerintah tidak memiliki instrumen yang tepat untuk mengendalikan harga selain mengandalkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Yang kedua, bisa jadi hal ini tercipta karena direkayasa oleh oknum-oknum tertentu guna memainkan harga di tingkat petani. Mereka selalu berusaha ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sekalipun harus menyengsarakan para petani. Semangat untuk menciptakan “makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran”, sepertinya sudah hilang dalam kehidupannya.
Tampilnya Perum Bulog sebagai off taker membeli gabah petani, boleh jadi merupakan terobosan cerdas yang perlu disiapkan secara apik agar dalam pelaksanaannya, tidak melahirkan benturan kepentingan di lapangan. Perum Bulog tahu persis, amanah yang diemban sebagai off taker adalah wujud nyata dari spirit “bersama Perum Bulog membangun kemakmuran petani”. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).