Di tengah gegap gempita kampanye politik, sosok Prabowo Subianto muncul bak seekor harimau. Dengan lantang ia mengaum, menawarkan perubahan besar, memancarkan janji-janji yang menggetarkan hati rakyat. Narasi perjuangannya begitu menggugah, membangkitkan asa di tengah masyarakat yang lelah dengan kebijakan era sebelumnya. Dari mimpi besar tentang kedaulatan pangan hingga janji memperkuat pertahanan negara, Prabowo hadir sebagai simbol keberanian dan ketegasan.
Namun, seperti halnya janji-janji politik yang sering menjadi hiasan semata, masa bulan madu itu perlahan memudar. Harimau yang dulu mengaum dengan gagah tiba-tiba berubah menjadi kucing kurus kumal, berjalan terseok-seok di lorong istana kekuasaan. Satu demi satu janji yang pernah disuarakan menguap, meninggalkan pertanyaan besar di benak rakyat: di mana taring sang harimau yang dulu?
Asa yang Pudar
Pada masa kampanye, Prabowo berbicara tentang Indonesia yang mandiri, berdikari tanpa harus tunduk pada kepentingan asing. Ia menjanjikan revolusi dalam sektor pangan, menyebut bahwa Indonesia tidak boleh lagi menjadi pengimpor utama beras, jagung, atau garam. Ia menggaungkan retorika bahwa negeri ini harus kembali menjadi “lumbung dunia” seperti di masa kejayaan dahulu. Namun, kenyataan berbicara lain. Kebijakan yang diambil justru tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Ketergantungan pada impor tetap tinggi, sementara program swasembada pangan hanya menjadi wacana di atas kertas.
Dalam bidang pertahanan, janji untuk memperkuat angkatan bersenjata dan mengurangi ketergantungan pada teknologi luar negeri tampak samar. Alih-alih menjadi lebih kuat dan mandiri, banyak pihak justru melihat bahwa kebijakan pertahanan di era Prabowo tidak menunjukkan lonjakan signifikan. Kritik datang bertubi-tubi, menyebutnya lebih sibuk menjaga citra daripada benar-benar bekerja untuk memperkuat negara.
Dari Jokowi ke Prabowo: Asa yang Berubah Wujud
Peralihan dari era Jokowi ke era Prabowo diharapkan membawa perubahan besar. Banyak rakyat yang kecewa dengan pemerintahan Jokowi karena dianggap terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur fisik sambil mengabaikan aspek kesejahteraan sosial. Harapan itu bertumpu pada Prabowo, yang dianggap sebagai “pembeda”. Namun, apakah benar ada perbedaan?
Faktanya, rakyat justru merasakan kekecewaan yang serupa. Jika di era Jokowi rakyat mengeluh tentang meningkatnya utang negara dan melemahnya daya beli, di era Prabowo masalah serupa masih berlanjut. Harimau yang diharapkan mampu memberikan gebrakan baru justru menunjukkan sifat jinak, bahkan pasif, dalam menghadapi tantangan besar bangsa ini.
Politik Retorika vs Realita
Perubahan Prabowo dari “harimau” menjadi “kucing” bukanlah sekadar narasi retorika. Ini adalah gambaran nyata dari seorang pemimpin yang gagal memenuhi ekspektasi besar yang telah ia bangun sendiri. Dalam pidato-pidato kampanyenya, ia menjanjikan keberanian untuk melawan ketidakadilan dan kebijakan yang merugikan rakyat. Tetapi setelah terpilih, Prabowo terlihat lebih memilih jalur aman, menghindari langkah-langkah berani yang bisa merusak citranya di mata elit politik.
Harapan yang Tertinggal
Rakyat Indonesia selalu menjadi bangsa yang optimis. Setiap pemilu, mereka menyimpan asa bahwa pemimpin baru akan membawa angin perubahan. Namun, kekecewaan demi kekecewaan telah membuat banyak orang merasa skeptis terhadap janji politik. Harimau yang berubah menjadi kucing adalah simbol dari siklus kekecewaan ini, di mana pemimpin yang diharapkan mampu “mengaum” untuk rakyat malah berakhir menjadi penonton dalam panggung kekuasaan.
Penutup
Prabowo mungkin masih punya waktu untuk membuktikan bahwa ia tidak akan selamanya menjadi “kucing”. Namun, waktu adalah barang mahal dalam politik, dan rakyat tidak akan selamanya menunggu. Jika ia tidak segera mengembalikan taringnya dan mengaum seperti yang dulu ia janjikan, maka bukan hanya nama baiknya yang akan tergerus, tetapi juga harapan bangsa ini akan perubahan sejati.