Polemik terkait pembongkaran pagar laut di perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, menjadi gambaran nyata dari kekacauan kebijakan di bawah pemerintahan Jokowi. Kejadian ini menunjukkan betapa minimnya koordinasi antara lembaga negara dan betapa tidak efektifnya tata kelola pemerintahan dalam menangani isu-isu strategis.
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, secara tegas menyatakan keberatannya atas pembongkaran pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut. Pagar tersebut, menurut Trenggono, merupakan barang bukti dalam proses penyelidikan. “Harusnya itu barang bukti,” ujar Trenggono, menegaskan bahwa pembongkaran seharusnya menunggu hasil penyelidikan terkait siapa dalang di balik pemasangan pagar tersebut.
Namun, terlepas dari pernyataan Menteri KKP, pembongkaran tetap dilakukan dengan melibatkan pasukan khusus TNI AL, seperti Komando Pasukan Katak (Kopaska), Marinir, dan Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair). Komandan Pangkalan Utama TNI AL III Jakarta, Brigadir Jenderal (Mar) Harry Indarto, menyebut pembongkaran dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kedalaman dan usia patok bambu tersebut. Pernyataan ini memperlihatkan betapa kontradiktifnya pendekatan antarlembaga negara dalam menangani masalah yang sama.
Ketidakjelasan Kebijakan dan Dampaknya
Kisruh ini memunculkan beberapa pertanyaan mendasar: Mengapa koordinasi antara KKP dan TNI AL begitu lemah? Mengapa barang bukti penting dalam proses hukum justru dibongkar sebelum penyelidikan selesai? Peristiwa ini menambah daftar panjang kegagalan koordinasi di bawah pemerintahan Jokowi, yang sering kali lebih fokus pada ambisi pembangunan infrastruktur daripada membenahi sistem tata kelola dan komunikasi lintas lembaga.
Ketidakjelasan arah kebijakan dan ego sektoral dalam pemerintahan menciptakan kekacauan yang merugikan semua pihak. Tidak hanya menghambat proses hukum, tetapi juga mencerminkan lemahnya komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Jika pagar laut tersebut benar-benar penting sebagai barang bukti, maka pembongkaran yang tergesa-gesa hanya akan mengaburkan fakta dan mempersulit penegakan hukum.
Implikasi Lebih Luas
Fenomena ini adalah potret kecil dari masalah yang lebih besar: lemahnya governance dan absennya integritas dalam penyelenggaraan negara. Pemerintahan yang tidak mampu menyatukan visi dan tindakan antarinstansi akan terus menghasilkan kebijakan yang kontraproduktif dan membingungkan masyarakat. Di sisi lain, konflik semacam ini memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi negara, yang pada akhirnya merusak legitimasi pemerintahan itu sendiri.
Kasus pagar laut di Tangerang seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi bagi pemerintahan Jokowi. Koordinasi lintas sektor harus menjadi prioritas, bukan hanya untuk menyelesaikan masalah spesifik seperti ini, tetapi juga untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah berjalan efektif, efisien, dan adil.
Penutup
Jika chaos seperti ini terus berlangsung, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi telah gagal menjaga harmoni dalam penyelenggaraan negara. Kasus pagar laut ini menjadi simbol dari kerusakan sistemik yang melanda di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tata kelola, koordinasi yang jelas, dan komitmen terhadap hukum adalah kebutuhan mendesak agar bangsa ini tidak terus terjebak dalam pusaran kebijakan yang membingungkan dan merugikan rakyat.