Indonesia adalah negeri yang dianugerahi kekayaan alam melimpah. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, terdapat hamparan darat, laut, dan udara yang menyimpan potensi luar biasa. Namun, ironisnya, anugerah tersebut kerap terasa seperti kutukan, karena pengelolaan kekayaan ini justru menguntungkan segelintir orang.
Bayangkan, di satu sisi, ada individu yang memiliki ribuan hektar tanah. Sementara di sisi lain, rakyat jelata masih banyak yang hidup dalam keterbatasan. Beberapa bahkan tidak memiliki rumah untuk berteduh—hidup tanpa tempat yang layak disebut “rumah”. Ketimpangan ini mencerminkan betapa timpangnya distribusi kepemilikan aset di negeri ini.
Reklamasi adalah salah satu contoh nyata dari bagaimana pembangunan lebih berpihak kepada mereka yang sudah memiliki segalanya. Pulau-pulau buatan baru bermunculan, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk mengakomodasi bisnis segelintir pihak. Lihatlah proyek reklamasi yang terus dilakukan di Bekasi, Tangerang, dan bahkan Kepulauan Seribu. Apakah pulau-pulau ini benar-benar dibuat untuk rakyat? Atau hanya menjadi ladang investasi baru bagi kalangan elite?
Fakta bahwa proyek-proyek besar ini berlangsung di tengah kesenjangan sosial yang lebar hanya mempertegas ironi. Ketika para pemilik modal terus menambah aset mereka, rakyat kecil harus berjuang sekadar untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Di kota-kota besar, fenomena gelandangan dan pemukiman kumuh semakin menyedihkan, menjadi saksi nyata dari bagaimana sistem ekonomi kita meminggirkan mereka yang tak memiliki akses terhadap sumber daya.
Pembangunan Tanpa Keadilan
Pulau-pulau baru hasil reklamasi bukan sekadar proyek pembangunan fisik; mereka adalah simbol ketidakadilan sosial. Kepemilikan atas darat, laut, dan udara yang seharusnya menjadi milik bersama kini terpusat pada segelintir orang. Reklamasi yang katanya untuk kepentingan ekonomi sering kali hanya berujung pada pembangunan kawasan elit, pusat perbelanjaan mewah, atau kompleks perumahan eksklusif. Apakah rakyat kecil dapat menikmati hasilnya? Tentu tidak.
Pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian pihak menciptakan jurang yang semakin lebar antara kaya dan miskin. Mereka yang berada di puncak kekuasaan ekonomi terus menumpuk kekayaan, sementara mereka yang di bawah hanya bisa memandang dengan getir.
Solusi untuk Keadilan
Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Negara harus hadir sebagai pelindung dan pendistribusi keadilan. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil, antara lain:
- Reformasi Agraria yang Adil
Lakukan redistribusi tanah untuk memastikan rakyat kecil mendapatkan akses yang lebih baik terhadap lahan produktif. - Pengaturan Reklamasi yang Berpihak pada Publik
Setiap proyek reklamasi harus diawasi ketat dan memastikan bahwa hasilnya benar-benar bermanfaat untuk masyarakat luas, bukan hanya untuk kalangan tertentu. - Perlindungan untuk Kaum Marginal
Pemerintah perlu menciptakan program perumahan rakyat yang terjangkau, serta menyediakan infrastruktur dasar yang memadai bagi masyarakat miskin. - Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Dorong masyarakat untuk menjadi pelaku aktif dalam ekonomi, dengan memberikan pelatihan, modal usaha, dan akses pasar.
Indonesia hanya akan menjadi negeri yang makmur apabila kekayaan alamnya dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang. Ketimpangan yang ada saat ini bukan takdir, melainkan hasil dari kebijakan yang berpihak pada yang kuat dan mengabaikan yang lemah. Sudah waktunya kita menuntut perubahan. Darat, laut, dan udara Indonesia adalah milik bersama, bukan milik beberapa individu yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Keadilan harus ditegakkan, bukan sekadar menjadi slogan kosong. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun Indonesia yang sejati—Indonesia untuk semua.